Jumat, 06 Februari 2015

TAFSIR ANWAR AL-TANZIL WA ASRAR AL-TA’WIL (AL BAIDHAWI)



A.    Gambaran Kitab
v  Nama kitab: Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
v  Karangan: Abi Sa’id Abdullah bin Umar bin Muhammad Asy-Syairazi al-Baidhawi
v  Jumlah jilid: 2 jilid
v  Jilid pertama : al-Fatihah-al-Isra’
v  Jilid kedua: al-Kahfi-an-Nas
v  Ukuran: 20x28 cm
v  Jumlah halaman: jilid pertama 586, jilid kedua 635
v  Penerbit: Darul Kitab Al-‘Alamiah, Daarun Saadar
v  Kota terbit: Beirut-Libanon
v  Warna sampul: Hitam, Hijau tua
B.     Biografi
Nama lengkap Al Baidhowi adalah Nashiruddin abul khoir abdullah bin umar bin muhammad bin ali al baidhowi as syafi’i. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang berdekatan dengan kota syiroz di Iran Selatan. Di kota inilah Al Baidhowi tumbuh dan berkembang menimba ilmu. Ia juga sempat tinggal dan belajar di Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiroz mengikuti jejak ayahnya.
Al Baidhowi hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu bakar yang memegang tampuk kekuasaan di Syiroz saat itu sangat lemah, tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun paraelit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap dunia peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqoha yang menghawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat islam. Mungkin, karena pertimbangan inilah setelah mengikuti guru spiritualnya, Syeh Muhammad Khotai yang memintanya keluar dari pemerintah yang menyebabkan Al Baidhowi mengundurkan diri dari jabatan hakim agung.
Selepas mengundurkan diri,  AlBaidhowi mengembara ke Tabriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul“Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”. Mengenai tahun meninggalnya tidak ada kesepakatan di tangan ulama, Assubki dan Al Asnawi menyebut tahun wafatnya adalah 691 H, semantara Ibnu Katsir tahun 685 H.
Karya-karya Al Baidhowi diantaranya :
a.   Anwar at tanzil wa asror at ta’wil (bidang tafsir)
b.   Syarah Musyabih (Hadis)
c.  Tawali’ al anwar (teologi)
d.  Syarah Al Mahsul (Ushulfiqih)
e.   Syarah At tanbih (Fiqih)

C.    Sejarah Penulisan Tafsir al-Baidhawi
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”.
Al-Baidhawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi al-Baidhawi, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i, ulama yang menyarankan al-Baidhawi untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan al-Baidhawi karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya.
Beberapa penilaian terhadap tafsir al-Baidhawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari, disarikan dalam hal i’rab, ma’ani dan bayan, Mafatih Al-Ghaibi karya Fakhruddin Al-Razi, disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy disarikan dalam hal asal-usul kata. Terlepas dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, al-Baidhawi mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum al-Baidhawi. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh al-Baidhawi. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin Ka’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zaid bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, al-Baidhawi mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali.
D.    Metode Penafsiran
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analisis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Baidhawi memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang cemerlang.
Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan tempat turunnya surat makkiy atau madaniy dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadits-hadits nabi maupun qira’ah. Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain atau sering disebut dengan ”hubungan internal” merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi.
Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an. Penggunaan ”hubungan internal” (munasabah) ini tampak sangat sering dalam tafsir al-Baidhawi. Di akhir hampir setiap surat, al-Baidhawi menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca surat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya. Namun, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan, dha’if, atau maudhu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudhu’ menurut kesepakatan ulama hadits. Walaupun begitu adanya, al-Baidhawi memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf, hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika.
E.     Corak
Kitab tafsir Al Baidhawi merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran secara bilma’tsur dan birra’yi sekaligus. Dalam hal ini, beliau tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan parasahabat dalam menafsirkan Al Qur’an, yang menjadi ciri khas dari penafsiran bilma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, Al Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak, misalnya fiqih, akidah atau yang lain. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqih, bahkan tasawuf. Hanya saja sebagai seorang sunni, penafsira Al baidhawi memangcenderung kepada madzhab yang diikutinya. Dan secaramin babal taghlib kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologinya. Meskipun Al Baidhawi banyak merujuk pada tafsir Al Kasyaf karya Zamakhsyari yang beraliran muktazilah, Al Baidhawi meninggalkan, bahkan seringkali mengkritik aspek-aspek kemuktazilahannya.
Salah satu ciri yang menjadi karakter dari kitab tafsir Al Baidhawi ini adalah bahwa penulisannya senantiasa menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan pendek. Keringkasan penggunaan bahasa dalam kitab tafsir ini secara nyata tampak dari jumlahnya yang hanya dua jilid. Meski disiplin keilmuan yang digunakan dan sumber penafsiran hampir sama dengan kitab Mafatihul Ghaib dan Al Kasyaf, namun kedua kitab ini lebih tebal. Selain itu banyaknya syarah atau hasyiyah mungkin bisa disebut sebagai salah satu indikasi sangat ringkasnya kitab tafsir ini.
F.     Sistematika
Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca.
 Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini.
G.    Kelebihan dan Kekurangan
 Kelebihannya:
a.       Merupakan ringkasan dari kitab tafsir al-Kasysyaf, sehingga dengan keringkasannya memudahkan pembaca dalam membaca kitab tersebut.
Kekurangannya:
·         Adanya kisah-kisah Israiliyat, seperti: Kisah Talut dan Jalut (al-Baqarah 2: 248). Tafsiran ini jelas menunjukkan terdapatnya unsur-unsur Israiliyat.
H.    Komentar Ulama’
Kebanyakan komentar terhadap tafsir al-Baidhawi ini beranggapan bahwa al-Baidhawi merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khususnya al-Kasyaf. Haji Kholifah dalam kitabnya Kasyf al-Zunun memberikan komentar bahwa Kitab tafsirannya ini merupakan kitab yang sangat penting, kaya akan penjelasan.
Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini meliputi rangkuman pendapat banyak Imam besar Dabn kejernihan pandangan para Ulama’ dalam menafsirkan al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katana yang sulit.
Muhammad Husain al-Zahabi menyatakan bahwa kitab tafsir al-Baidhawi ini merupakan salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah SWT dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya.
Berbeda dengan sikap tersebut, Yusuf Rahman yang menulis tentang unsur-unsur hermeneutika tafsir al-Baidhawi menyatakan bahwa sikap al-Baidhawi yang menyebutkan sumber dalam penafsiran yang dilakukan itu membuat kita menuduhnya seorang plagiat.


3 komentar:

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)