A. Gambaran Kitab
Nama Kitab : Al-Mizan Fi Tafsir al-Quran
Pengarang :Sayyid Muhammad HuseinThabathaba’i
Lahir : di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892
M
Penerbit : Beirut; Dâr al-Fikr
Ukuran buku : Tafsir al-Mizan terdiri 8041 halaman kitab
berberhasa
Arab
Warna sampul : Hitam
Jumlah jilid : 20 jilid
B. Biografi Penulis
Imam Thabathaba’i adalah nama yang populer bagi penulis al-Mizan fi tafsir
al-Quran. Thabathaba’i sendiri merupakan horofic title (laqab)
bagi salah satu kakeknya, yaitu Ibrahim Thabathaba’i bin Ismail ad-Dibaji.
Beliau dijuluki seperti itu oleh ayahnya dengan harapan dapat memotongkan
secuil kain baginya, ketika ia masih kecil, kemudian ia memberi pilihan
kepadanya antara baju dan quba.Ayahnya menegaskan thaba-thaba yakni quba-quba.
Akan tetapi menurut pendapat lain,julukan tersebut diberikan kepadanya yang
berarti ia adalah penghulu para sayyid (atau keturunan Nabi Muhammad).
Beliau lahir pada akhir 1321 H. Tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321 H atau
bertepatan dengan 1903 M di desa Shadegan. Provinsi Tibriz atau Tabriz
(provinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu kota pada masa dinasti safawi).
Beliau lahir dari keluarga ulama keturunan Nabi yang selama 14 generasi telah
mengahsilkan ulama-ulama terkemuka dalam islam, termasuk Thabathaba’i sendiri.
Thabathaba’i muda dibesarkan dalam keluarga ulama intelektual dan religius.
Beliau mendapatkan pendidikan awal dari tangan keluarganya.Ibunya meninggal
pada saat beliau 5 tahun. Empat atau lima tahun kemudian ayahnya juga
meninggal.
Dengan demikian, beliau sudah menjadi yatim pada saat masih banyak
membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Setelah ayahnya
meninggal, beliau diasuh oleh pembantu laki-laki dan perumpuannya, termsuk
dalam mendampinginya untuk belajar, sehingga sepeninggal kedua orang tuanya,
pendidikannya tetap diperhatikan. Bagi keluarga ini, pendidikan sudah menjadi tradisi keluarga.
Secara garis besar, perjalanan pendidikan Thabathaba’i dijalani di tiga tempat;
Tibriz, Najaf dan Qum. Thabathaba’i memperoleh pendidikan dasar dan menegahnya
secara formal di kota kelahirannya, Tibriz sejak 1911-1917.Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya Thabathaba’i mengambil jalur
otodidak untuk memperdalam pengetahuan yang diperolehnya.
Hal ini dilakukan karena alasan ekonomi yang melilit kehidupannya.
Semangatnya untuk belajar tidak padam, meskipun ia belajar tidak dikelas dan
tanpa partner. Terbukti selama tujuh tahun, tepatnya mulai 1825-1918,
beliau denga tekun memulai kajian dan memabaca teks-teks agama, bahasa arab dan
berbagai disiplin ilmu.
C. Sejarah Penulisan
Menurut Razzaqi, ketika Thabathaba’i datang dari
Tabriz ke Qum, beliau mempelajari dan melihat adanya berbagai kebutuhan dalam
diri masyarakat Islam berikut berbagai situasi yang melingkupi lembaga Qum itu.
Setelah itu beliau sampai pada satu kesimpulan bahwa lembaga tersebut membutuhkan
satu tafsir atas al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik
dan instruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam
teks yang paling tinggi kedudukannya dalam Islam.
Dalamkuliah-kuliahnya, Thabathaba’imemberikanmateritafsir
yang lalukemudianbeliautuliskan.Selamadiselenggarakanyakuliah yang cerdasini,
kemungkinaniatelahmenuslikanmaterinyadalambentukprosa yang padatnamunindah,
yang belakanganditerbitkandalambeberapa volume.
Dan yang tak kalah penting lagi adalah bahwa dengan
keberadaan tafsir ini, sesungguhnya Thabathaba’i sekaligus ingin membantah
asumsi yang menyatakan bahwa Syi’ah memiliki al-Quran tandingan, yang berbeda
dengan al-Qur’an di dunia Sunni. Syi’ahtelahdituduhtelahmendistorsidanmereduksi al-Qur’an yang
beredarsekarangini.
D. Metode Penafsiran
Al-Qur’an diposisikan sebagai petunjuk bagi manusia, maka sebagai
konsekuensi logisnya, tidak ada tawaran lagi bagi umat untuk bisa memahami
al-Qur’an itu secara mutlak. Sebab, bagaimana mungkin pesan-pesan yang
dikandungnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa memahaminya
terlebih dulu.
Atas keunikan itulah, al-Qur’an dapat selalu memberi peluang untuk
menghasilkan penafsiran baru. Dalam kaitannya dengan pemahaman al-Qur’an,
Thabathaba’i berasumsi bahwa setiap ayat al-Qur’an pada dasarnya bisa dipahami
dari dua sisi. Satu sisi adalah pemahaman makna literal sebagaimana yang
tersurat dalam teks-teks al-Qur’an, yang kemudian dikenal sebagai aspek lahir.
Sedangkan sisi lain adalah pemahaman terhadap makna yang tersirat, yakni makna
yang terdapat dibalik teks ayat, yang kemudian dikenal dengan aspek batin.
Dalam pandangan Thabathaba’i, baik arti lahir maupun batin, keduanya
tidaklah saling bertentangan. Pemahaman ini didasari oleh pengamatan Thabathaba’i
terhadap struktur indrawi manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an,
Thabataba’i menggunakan tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama, menafsirkan
suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non ilmiah. Kedua, menafsirkan
al-Qur’an dengan hadits Nabi yang diriwayatkan dari imam-iman yang diucapkan
dalam konteks ayat yang akan dibahas. Ketiga, menafsirkan al-Qur’an dengan
jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat dengan bantuan sejumlah ayat lain
yang relevan, dan sebagai tambahan, dengan merujuk kepada hadist-hadist sejauh
hal tersebut memang diperlukan.
Tafsir Al Mizan ditulis menggunakan metode tahlili, sebuah metode yang
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al Quran dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al Quran sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Selain itu Tafsir Al Mizan dikenal sebagai tafsir filosofis. Di samping itu,
melalui kitab inilah dunia pertama kalinya dikenalkan dengan metodologi Tafsir
al-Quran bi al-Quran. Metode ini merupakan salah satu model tafsir yang paling
efektif. Dalam kitab Adwa’ al-Bayandiilustrasikan penggunaan metode ini
meliputi beberapa kategorisasi, di antaranya memberikan rincian untuk apa yang
telah diringkas (Tafsil al-Mujmal), membatasi yang mutlak (Taqyid
al-Mutlaq), menspesifikasi yang general (Takhsis al-Amm), menjelaskan
implikasi dari satu ayat ke ayat lain, menjelaskan satu kata dengan kata lain,
menjelaskan satu makna dengan makna lain, menjelaskan bentuk linguistik dalam
satu ayat dengan arti lain yang terdapat dalam ayat lain.
E. Corak
Kalangan Syi’ah, sebagaimana dikemukakan oleh Thabathaba’i, memandang
ayat-ayat yang dikatakan mutasyabihat bisa dipahami dengan merujuk pada ayat
lain yang termasuk dalam kategori muhkamat. Inilah yang dalam syi’ah dipahami
sebagai ketergantungan ayat-ayat metasyabihat terhadap ayat-ayat muhkamat.
Diantara karakteristik yang menonjol dalam penafsiran Thabathaba’i adalah
perhatiannya yang besar terhadap munasabah (persesuaian) serta hubungan
diantara ayat-ayat al-Qur’an. Kajian tentang munasabah oleh sementara mufasir
lebih menekankan pada hubungan serta persesuaian antara suatu surah dengan
surah sebelum atau sesudahnya. Thabathaba’i relatif sedikit mencurahkan
perhatian pada munasabah antar surah. Baginya yang bernilai adalah mengkaji
munasabah serta hubungan antar ayat, sebab keutuhan makna diantara ayat-ayat
hanya bisa sempurna manakala aspek-aspek tertentu dari ayat-ayat tersebut serta
bagaimana konteksnya dapat tersingkap melalui pendalaman atas munasabah serta
tarabut antar ayat.
Sebagai seorang Ulama’ Syi’ah yang terkemuka, pemikiran Thaba’tabai memang
sangat diwarnai ideologi ke syi’ahan. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa
karyanya, termasuk dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini. Tampak sekali bahwa
kitab ini sangat memeprlihatkan keteguhan Thaba’tabai berpegang pada madzhab
syi’ah. Dalam karya monumentalnya ini Thaba’tabai bahkan kelihatan sekali
berupa mengkampanyekan madzhab syi’ahnya ketika menafsirkan ayat-ayat yang
menurut kaum syi’ah sendiri, berkenaan dengan pandangan-pandangan ideologis ke
syi’ahan mereka.
Untuk menjelaskan posisi tafsir dan penafsirannya Thaba’tabai merasa perlu
menjelaskan corak penafsirannya yang berkembang pada waktu itu. Dalam muqodimahnaya, ia menjelaskan bahwa
ragam tafsir muncul sejak zaman kekhalifahan karena berbagai sebab. Pertama,
umat islam telah berbaur dengan berbagai tokoh agama dan mazhab. Kedua,
filsafat Yunani telah ditransfer ke dunia Arab pada masa kekhalifahan Umawiyah
dan terus berkembang pada masa Abasiyah. Hal ini menjadikan kajian kaum
muslimin terhadap al-Qur’an sangat bercorak filosofis. Masuknya filsafat dalam
dunia islam juga memberi andil atas berbagai pemahaman terhadap islam yang tidak
semuanya disetujui oleh umat islam yang lain, terutama yang berkecenderungan
fiqih.
Thaba’tabai juga menjelaskan corak penafsiran ulama terhadap al-Qur’an yang
terdiri dari; Pertama, Ulama hadits. Mereka mencukupkan diri pada penafsiran
dasarkan riwayat dari ulama-ulama salaf, sahabat dan tabi’in. kedua, para
teolog yang menggunakan berbagai macam pendapat madzhab dengan segala
perbedaanya. Pendapat-pendapat yang sesuai diambil, sedangkan yang tidak sesuai
diinterpretasi dengan batas-batas kewenangan yang ada di dalam mazhab. Ketiga,
para filosof yang dalam menafsirkan tidak jauh beda dengan para teolog.
F. Sistematika
Dalamkitabtafsirnya
al-MizaniniThabathaba’imengikutisistematikatartibmushafi.NamnunThabathaba’idalampenafsirannyamembagi-baginyakedalambeberapatema.Sehinggadalammenafsirkan
al-Qur’an, Thabathaba’itidakmelakukannyasecaraayat per ayat.Akan
tetapimengumpulkanbeberapaayatuntukkemudianbarudiberikanpenafsirannya.Dalamkaitanini,Thabathaba’imengawalinyadengantemapenjelasan
yang meliputikajianmufradat, i’rab, Balaghahkemudiantemakajianriwayat yang di
dalamnyaberisipandanganberbagairiwayat yang disikapiThabathaba’isecarakritis,
dilanjutkandengankajianfilsafatdan lain sebagainya.
Secara umum
sistematika yang dipakai Thabathaba’i dalam karya tafsirnya, pada dasarnya
tidak jauh berbeda dengan sistematika dalam karya-karya tafsir lainnya.Ali al-
Awsi memetakan sistematika yang dipakai karyanya ini. Diantara yang
bisadisebutkanadalahThabathaba’idalammemberikansatutopik,
membagi-bagiayatdalamsatusurat yang akanditafsirkanmenjadikelompoktersendiri.
Terlepasdariayattersebutmasukdalamkelompoksatusuratatautidaksehinggaterkadangdalammenafsirkan,Thabathaba’ihanyamenafsirkansatuayatataulebihdalamsatukelompok.
Tidak jarang Thabathaba’i
menggunakan metode diskusi ketika menafsirkan suatu ayat, sambil membeberkan
pendapat ulama klasik pada ayat yang sedang dikaji.
selain itu ketika mengutip pendapat para ulama terutama dalam bahasan riwayat,
terkadang beliau mengomentari riwayat tersebut. Baikmelemahkannya,
menguatkannya,
atauuntukmemperkokohpendapatnyadalammenjelaskanpengertiansepertihalnyadalampembahasantentangsebab-sebabturunnyaayat.
G. Kelebihan dan Kekurangan
a. Kelebihan kitab Tafsir al-Mizan:
1. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Imam Thabathaba’i memiliki disiplin ilmu yang begitu
banyak mulai dari yang berhubungan dengan agama sampai dengan ilmu-ilmu umum
maka dalam penafsirannya banyak ilmu-ilmu yang dapat menunjang dalam penafsiran
ayat tersebut terhadap Al-Qur’an itu sendiri.
2. Beliau begitu teliti dalam menukil riwayat baik itu yang dinukil dari
Rasulullah, Sahabat, maupun dikalangan tabi’in itu sendiri.
3. Beliau hanya mengambil sesuatu yang bermanfaat saja dalam kitab-kitab yang
lain.
4. Walaupun beliau termasuk ulama Syi’ah akan tetapi penafsirannya untuk
memperkuat posisi syi’ah itu tidak terlalu karena ia juga
membanding-bandingkanna dengan Sunni.
b. Adapun kelemahan Tafsir al-Mizan:
1. Tidak menyebutkan sanad hadist secara sempurna akan tetapi cukup menyebut
sumber pertamanya meskipun terkadang menyebutnya. Sedang hadist yang terkait
dengan fadhilah-fadhilah surah tidak disebutkan.
2. Beliau terkadang menggunakan sunnah dalam mengukuhkan dan menopang hasil
pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dari aspek bahasa, i’rab, siyaq dan
pengaruh makna dzahir dengan mengkhususkan pembahasannya. Hal itu dilakukan
jika hasil pemahaman itu sejalan denga sunnah tapi jika tidak searah maka
beliau mendhaifkan sunnah.
mantap.....
BalasHapus