A. Biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
1. Muhammad Abduh
Mempunyai nama lengkap Muhammad bin Abdullah
bin Hasan Khairullah. Lahir pada tahun 1849 di Mesir, dari keluarga tani di
dusun Mhallat Nashr dekat sungai Nil. Ayahnya bernama Abdul Hasan Khairullah
asal Turki. Ibunya dari bangsa Arab yang mempunyai silsilah sampai ada ‘Umar
bin Khatab’. Beliau meninggal dunia tanggal 11 Juli 1905 dalam usia 56 tahun di
Iskandariyah di rumah sahabatnya Muhammad Bek Rasim.
2. Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridho dilahirkan pada
tahun 1865 di Al-Qolamun, suatu desa yang letaknya tudak jauh dari kota
Tripoli. Beliau meninggal pada tanggal 22 Agustus 1935 akibat kecelakaan mobil
di kota Suez, Mesir. Ayahnya bernama Sayyid Syikh Ahmad.
Pada tahun 1897, Rasyid Ridha ergi ke Mesir
dan bergabunga bersama Muhammad Abduh, inilah pertemuannya dengan Abduh. Kairo,
Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manar yang terbit pertama kalinya pada
tahun 1898 berupa majalah mingguan yang selanjutnya menjadi bulanan sampai akhirnya
tahun 1935. Sebagaimana majalah al-‘Urwah al-Wusqa, majalah al-Manar juga
bertujuan untuk menyebarluaskan ide-ide reformasi dan memelihara kesatuan
Negara Muslim.
B. Sejarah Penulisan
Secara detail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai sebab penulisan
Tafsir al-Manar. Yang jelas dari beberapa pengamat Tafsir al-Manar menyebutkan
bahwa, pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran
dari tiga tokoh pembaruan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha meski mereka sepakat mengatakan
bahwa penulis karya Tafsir al-Manar ini adalah hasil tokoh yang ketiga.
Namun, perlu diketahui bahwa pada mulanya tafsir ini merupakan materi Abduh
yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad
Rasyid Ridha, yang kemudian Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu
dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah
tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua
pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembali
oleh Abduh.
Hal tersebut bermula dari ketertarikan Rasyid Ridha terhadap
artikel-artikel al-Urwah al-Wusqa yang pernah diterbitkan oleh al-Afghani dan
Abduh ketika keduanya bermukim di Prancis menumbuhkan obsesinya bisa berguru
kepada keduanya. Rasyid Ridha tertarik kepada artikel-artikel majalah itu.
Mengenai usulan penafsiran al-Qur’an yang disampaikan oleh Ridha kepada Abduh
sempat mengalami kegagalan tiga kali. Meskipun Muhammad Abduh menyadari akan
pentingnya penulisan tafsir, namun Abduh mempunyai alasan yaitu, tulisan dalam
bentuk buku-buku tidak bermanfaat bagi orang yang berhati buta. Kemudian metode
ceramah lebih efektif ketimbang penulisan.
Namun pada akhirnya, Ridha menyatakan tekadnya siap menanggung kerugian
material selama satu tahun sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya
abduh merestui penerbitan dan memilih nama al-Manar dan dari sekian banyak nama
yang diusulkan oleh Rasyid. Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal
1315H/17 Maret 1898 berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat
sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik itu dari Mesir maupun di luar
Mesir, Eropa dan Indonesia itu sendiri.
Karenanya tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk
dinisbahkan kepada Muhammad Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang
ditulisnya, baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi jumlah halamannya, juga
karena dalam penafsiran ayat-ayat surah al-Fatihah dan surah al-Baqarah serta
surah an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya
dengan menulis kata (أقول) aqulu sebelum menguraikan pendapatnya. Tetapi
di bagian-bagian awalnya (lima jilid pertama) memuat Tafsir Muhammad Abduh
dengan menggunakan pemikiran pembaharuan yang bisa menggugah kesadaran
pembacanya untuk mengkaji al-Qur’an lebih dalam.
C. Metode dan Sistematika Tafsir al-Manar
Sistematika kitab Tafsir al-Manar tidak jauh beda dengan kitab-kitab tafsir
al-Qur’an yang lain (dengan metode tahlili). Kitab Tafsir al-Manar merupakan
sistematika tertib mushafi, yaitu sistem penafsiran yang berkembang secara umum
periode ketiga, sejak mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan disiplin hadis
yaitu dengan munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut
tertib susunan mushaf Al-Qur’an.
Adapun yang membedakan Kitab Tafsir al-Manar dengan kitab tafsir sebelumnya
adalah terletak pada gaya analisisnya yang menitik beratkan pada aspek
ketelitian redaksinya, adapun penelitian terhadap Kitab Tafsir al-Manar yang
dilakukan oleh Syihathah, menemukan bahwa prinsip-prinsip penafsiran al-Manar
adalah:
1) Kesatuan utuh seluruh surst-surat al-Qur’an
2) Kesatuan tema dalam satu surat
3) Bertopang pada kemampuan akal
4) Pemberantasan taqlid
5) Tidak banyak penafsiran dengan atsar
6) Berhati-hati dengan cerita-cerita israiliyyat
7) Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum
8) Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
9) Menghindari pembicaraan panjang lebar
D. Corak
Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak dan gaya bahasa
yang terhitung baru. Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk
dalam kategari kitab modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang
belum pernah berlaku pada masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra
budaya kemasyarakatan (al-adab al-ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak
dasar corak tafsir al-adabi al-ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh yang kemudian
dikembangkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridho.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai ”Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang
shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan
menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap
waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum
Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk
itu.” tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari
istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam,
tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara
yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di
al-Azhar.
F. Komentar Ulama’
Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar, Ulama’ mengatakan
bahwa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur (bi
al-riwayat) dan tafsir bi al-Ra’yi (logika). Dalam
penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam
penafsirannya. Dan hadits-hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits
menjadi sumber berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan
al-Qur’an sesuai dengan problema yang terjadi di masyarakat.
Nice blog n nice article ^^
BalasHapusizin share and copy, thx
BalasHapusizin copy yaaaa,,untk tugas...thnkzz
BalasHapusKuloo ijin nggih...damel tugas Niki..hihi
BalasHapus