A. Gambaran Kitab
§ Namakitab : Tafsir al Munir
fi al ‘Aqidahwa al Syari’ah al Manhaj
§ Pengarang : Dr.
Wahbah az Zuhailiy
§ Lahir : 1351 H /
1932 M
§ Madzhab : Hanafiy
§ Bahasa : Bahasa Arab
§ Tahunpenulisan : 1408 H
§ Jumlahjilid : 16 jilid
§ Penerbit : Damsyik, Dar
Fikr, dan Beirut, Dar Fikr al Ma’ashir,
: cetakan pertama pada tahun 1411 H / 1991
M.
§ Panjang : 23 cm, lebar
: 16,5 cm, tebal : +3 cm / + 684 halaman.
§ Warnasampul : Hijau Tua,
§
Karya-karyanya :
Al Fiqh
Al Islami wa Adillatuh,At Tafsir Al Munir, Al Fiqh Al Islami fi uslubih Al
Jadid, Nazariyat Adh Dharurah Asy Syari`ah,Ushul Al Fiqh Al
Islami,Az Zharai`ah fi As Siyasah Asy Syari`ah,Al `Alaqat ad-Dualiyah fi Al
Islam,Juhud Taqnin Al Fiqh Al Islami, Al Fiqh Al Hanbali Al Muyassar, At Tafsir
Al Wasith tiga jilid, Al I`jaz fi Al Qur’an, Al Qishshah Al Qur’aniyah.
B. Biografi
Nama pengarang Tafsir al-Munir adalah Prof. Dr.
Wahbah bin Mushthafaaz-Zuhaili Abu ‘Ubadah. Ia dilahirkan di kawasan Dir
`Athiyah pada tanggal 6 Maret 1932 dari orang tua yang terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaannya.
Ayahnya, Musthafaaz-Zuhaili,
adalah seorang penghafal Alquran dan banyak melakukan kajian terhadap kandungannya. Ibunya bernama Fathimah binti Musthafa Sa`dah, dikenal dengan sosok
yang kuat berpegang teguh pada ajaran agama.
Lazimnya anak-anak pada saat itu,
Wahbah kecil belajar Alquran dan menghafalnya dalam waktu relatif singkat. Setelah menamatkan sekolah dasar,
ayahnya menganjurkan kepada Wahbah untukmelanjutkan sekolah di Damaskus. Pada tahun
1946, Wahbah pindah ke Damskus untuk melanjutkan sekolah ke tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Setelah itu,
Wahbah melanjutkan keperguruan tinggi dan meraih gelar sarjana mudanya di
jurusan Ilmu-ilmu Syari`ah di Syuria.
Dalam menuntut ilmu, Wahbah tidak memadakan di
negerinya sendiri. Ia harus mencari universitas yang lebih baik. Untuk itu,
ia pindah ke Mesir, dan kuliyah di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar,
jurusan Syari`ah dan Bahasa Arab; dan Universitas Ain Syams, jurusan Hukum.
Setelah menyelesaikan kuliyah di du auniversitas tersebut,
Wahbah melanjutkan pada jenjang berikutnya, program magister Universitas Cairo,
jurusan Hukum Islam. Hanya dalam waktu dua tahun, Wahbah menyelesaikan program
magisternya dengan judul tesis adz-Dzara’i` fi as-Siyasahasy-Syar`iyyahwa al-Fiqh
al-Islamiy.
Semangat menuntut ilmu Wahbah tidak putus,
ia melanjutkan pendidikannya sampai jenjang doktoral. Dengan judul penelitian Atsar
al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy: Dirasatan Muqaranatan, ia berhasil menyelesaikan
program doktoralnya pada tahun 1963.
Majlis sidang pada saat itu terdiri dari ulama terkenal, Syaikh Muhammad Abu Zahrah,
dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi pada saat itu). Majlis sidang sepakat untuk menganugrahkan Wahbah predikat
“Sangat Memuaskan” (Syarafula),
dan merekomendasikan disertasinya layak cetak serta dikirim ke universitas-universitas luar negeri.
Untuk menjadi ulama segudang ilmu, mestilah memiliki banyak
guru. Begitu juga dengan Wahbah.
C. Sejarah Penulisan
Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu
Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid).
Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah
az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu
al-Qur'an.
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini
adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran
secara ilmiah.
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir
ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir
kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan
bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika
kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan
interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan. Oleh karena itu,
menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan
metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada
penyimpangan interpretasi.
Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap
awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat
tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap
tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama,
aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah
ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat,
sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya
dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau
mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah,
seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98.
Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan
nasakh dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan
yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan
manusia.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an
yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan
asbab an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat,
riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.
Sedangkan dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl
al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain.
Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah "Melihat Tuhan" di
dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An'am ayat 103.
(Keterangan ini merujuk pada kitab
Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab
Tarjamah al-Mufassir fi Kutaeb Shadr Haul at-Tafsir al-Munir; dan kitab Tafsir
al-Munir sendiri).
D. Metode Penafsiran
Di
beberapa tempat, Wahbah menggunakan metode tafsir tematik (maudhu`i), di sisi
yang lain, ia menggunakan metode perbandingan (muqaran), namun,
dalam banyak kesempatan ia menggunakan metode tafsir analitik (tahlili). Agaknya, metode yang terakhir (metode analitik) lebih cocok, karena metode inilah
yang lebih dominan digunakan oleh Wahbah dalam tafsirnya.
Dalam
kitab Tafsir al-Munir, ada satu hal yang sangat menarik, yang mungkin tidak
disebutkan Wahbah dalam muqaddimahnya ini adalah, ketika menafsirkan kumpulan
ayat, Wahbah tidak lupa menjelaskan korelasi (munasabat) antar ayat.
E. Corak
Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir,
dalam hal inia dalah Tafsir al-Munir, yang diperhatikan adalah hal yang
dominan dalam tafsir tersebut. Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir yang
diajukan oleh al-Farmawi,
tafsir ini lebih cocok diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi
al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra`yi. Hal ini dikuatkan oleh
Dr. Badi` as-Sayyid al-Lahham, ia menjelaskan,
“Dalam kitab ini Syaikh Wahbah berusaha menggabungkanpenafsiranbi al-ma’tsurdan
bi ar-ra’yi denganmerujukpadakitab-kitabtafsirklasikdankontemporer....”
F. Sistematika
Untuk langkah sistematika pembahasan dalam
tafsirnya ini, Wahbah menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya, sebagai
berikut:
1. Mengklasifikasikan ayat Alquran – dengan urutan mushaf - yang ingin
ditafsirkan dalam satu judul pembahasan dan memberikan judul yang cocok.
2. Menjelaskan kandungan setiap surat secara global/umum.
3. Menjelaskan sisi kebahasaan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan, dan
menganalisanya.
4. Menjelaskan sebab turun ayat – jika ada sebab turunnya -, dan menjelaskan
kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan.
5.
Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan
rinci.
6. Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah ditafsirkan.
7. Membahas kesusastraan dan i`rab ayat-ayat yang hendak ditafsirkan.
Dalam pembacaan penulis terhadap kitab Tafsir al-Munir, ada satu hal yang
sangat menarik, yang mungkin tidak disebutkan Wahbah dalam muqaddimahnya ini
adalah, ketika menafsirkan kumpulan ayat, Wahbah tidak lupa menjelaskan
korelasi (munasabat) antar ayat.
Wahbah juga menjelaskan bahwa pada tempat-tempat tertentu, ia membahas
ayat-ayat tertentu dengan sistematika tafsir tematik/maudhu`i. Sebagai contoh
ketika menafsirkan ayat-ayat yang menceritakan tentang jihad, hukum kriminan,
warisan, hukum nikah, riba, khamar, dll.
G. Kelebihan dan kekurangan
Banyak sekali kelebihan tafsir ini, selain memiliki
pengantar tafsir yang sangat bermanfaat bagi setiap pembaca-sebagai perbekalan
ilmu- untuk masuk dalam tafsir alQuran. Pengantar itu berisikan seputar
ilmu-ilmu alQuran, dari mulai pengertian, sebab turun, kodifikasi, makkiyah
madaniyah, rasm mushaf, qiraat, i`jaz, sampai terjemahan Alquran.
Tafsir ini juga mengarahkan pembaca pada tema
pembahasan setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya, karena tafsir ini
membuat sub bahasan dengan tema yang sesuai dengan ayat yang ditafsirkan.
Selain tafsir ini juga memudahkan bagi pembaca untuk mengambil kesimpulan hukum
atau hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena Wahbah
sendiri, di penghujung pembahasan, menyimpulkan ayat yang ditafsirkan dengan
pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
Untuk kelemahan,
sulit bagi penulis untuk mencari kelemahan tafsir ini.Namun, satuhal yang
mungkin perlu disadari bahwa denga nmenggabungka ntafsir-tafsir yang ada,
seolah-olah penulis tidak mengungkapkan suatu tafsiran baru yang
sesuai dengan kehidupan modern sekarang, dan ini adalah suatu kelemahan. Yang
dilakukan olehWahbah az-Zuhaily hanya mengutip dan melakukan sistematika pembahasan
yang lebih rapi dari tafsir-tafsir yang lain.
H. Komentar Ulama’
Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitabTafsir
al-Munirini. Dalam Pengantar Penerjemah buku biografi SyaikhWahbah, Dr.
Ardiansyah menjelaskan,
“Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama paling
produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam
as-Suyuthi. Demikian pula
dengan sambutan luar biasa dari kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti
al-Fiqh al-Islamiy wa Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh,
sehinggalayakdisamakandengankarya-karya al-Imam an-Nawawi. Prestasidankeberhasilan yang langkah diraih oleh siapa pun
pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah SWT,
serta kesungguhan beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.”
Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di
Syam sangat memuji tafsir al-Munir ini, dia berkata, “Kitab ini sungguh sangat
luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan metode ilmiah, memberikan pelajaran
layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan,
baik yang berilmu maupun orang
awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya,
sehingga ia tidak perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.”
Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal
ini terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995 M”
dalam kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam
Iran. Kitab ini juga disambut oleh berbagai negara dengan cara menerjemahkannya dalam berbagai bahasa,
seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan menyusul Indonesia.