Kamis, 13 November 2014

Makalah Pola Pendidikan Karakter dalam Pesantren



Disusun Oleh:
        A’ang Khunaifi                                   (134211002)
Siti Sopuroh                                        (134211007)
Muhammad Harir                                (134211024)
Siti Fatihatul Ulfa                                (134211028)
Uyunil Aizzah                                     (134211034)


I.                   Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan banyak di bicarakan tentang pendidikan karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional bukan merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan sosial politik dan kebangsaan ini memang cenderung menghasilkan karakter bangsa. maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, dan kerusakan lingkungan merupakan indikasi masalah akat dalam pembangunan kararter bangsa ini. Hal tersebut telah menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan bahkan sudah melangkah jauh dalam mempraktekannya. Hal ini perlu dilakukan agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas warga bangsa ini) tidak asing dengan tradisi keilmuannya sendiri. Sedangkan, pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Lembaga pendidikan pesantren memiliki posisi stategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk pendidikan, pesantren mempunyai tempat tersendiri dihadapan masyarakat. Hal ini karena pesantren telah memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan bangsa dan pengembangan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini sedikit akan kami bahas  mengenai pendidikan karakter dalam pesantren.

II.                Rumusan Masalah
Adapun  rumusan masalah yang akan kami bahas adalah:
A.    Apa  pengertian pendidikan karakter dan pesantren ?
B.     Apakah unsur-unsur karakter?
C.     Bagaimana pendidikan karakter dalam perspektif islam?
D.    Bagaimana arah dan metode pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam?
E.     Bagaimana pola dan tujuan pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia?

III.             Pembahasan
A.    Pengertian pendidikan karakter dan pesantren
1.      Pendidikan karakter
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin“Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Karakter disini berarti kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasinya. Dalam pandangan Doni Koesoema karakter diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya, sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.[1]
Menurut Tadzkirotun Musfiroh karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviours), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan berprilaku jelek dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang berprilaku sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.[2]
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.[3]
2.      Pesantren
Sedangkan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja, yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian.[4]
Asal usul “santri” dalam pandangan Nurcholish Madjid[5] dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Disisis lain, Zamkhsyari Dhofier[6] berpendapat bahwa, kata “santri” dalam India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata”cantrik”, berartiseseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sam, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “pondok” berasal dari bahasa Arab yang berarti funduq artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian kerena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.[7]
M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomoddasi karakter keduanya. Pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurutnya, “Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal”.[8]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara isttilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat.[9]
B.     Dasar pendidikan Karakter dan landasan hukum di Indonesia
 1. Dasar pendidikan karakter
Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti dari perbedaaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam islam. Akibatnya, pendidika karakter dalam Islam lebih sering dilakukan dengan cara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.
Implementasi pendidikan karakter dalam Islam, tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-qur’an dalam surat Al-ahzab ayat 21 mengatakan:
Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Karakter atau Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian.[10] Pembinaan karakter dimualai dari individu, karena pada hakikatnya karakter itu memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual. Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak, maka dengan sendirinya akan mewarnai masyarakat. Pembinaan karakter selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan karakter pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram dan sejahtera.
Hal ini dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan karakter mulia yang harus diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga tuntunan syari’at. Sesungguhnya Rasulullah adalah contoh serta teladan bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter yang mulia kepada umatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang baik karakter atau akhlaknya dan manusia yang sempurna adalah yang memiliki akhlak al-karimah, karena ia merupakan cerminan iman yang sempurna.
2.      Landasan Pendidikan Karakter di Indonesia
                        Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.[11]
                        Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)). Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan karakter sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010). Isi dari rencana aksi tersebut adalah bahwa “pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati”.
                        Sementara itu, dalam INPRES No. 1 Tahun 2010 disebutkan “penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”. Di lain sisi, dalam latar belakang UUSPN Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.[12]
                               Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. Dengan demikian, jelaslah sudah landasan dan alasan penerapan pendidikan karakter di Indonesia.
C.     Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan.[13]
Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self Conception).
1)      Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya menunjukkan bagaimana karakternya.
2)       Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.
3)      Kepercayaan
`Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan denga orang lain.
4)      Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang. Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
5) konsep diri (Self Conception)
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari orang lain itu sangatlah berguna.

D.    Arah dan metode pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[14] Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).[15]
Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.
Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dîb digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri.[16]
E.     Pola pendidikan karakter dalam pesantren dan tujuannya
1.      Pola pendidikan karakter
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Secara sosiologis munculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang berkompeten untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis (biasanya) mapan, sehingga wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh tokoh (sebut kyai) yang mengasuhnya. Secara tradisional, pesantren memiliki masjid, pondokan, santri, kyai, dan pengajian tradisional. Pesantren kemudian berkembang pesat dengan diversifikasi program dan ilmu yang ditawarkan kepada masyarakat. Pesantren modern pada umumnya telah dilengkapi dengan saranaa dan prasarana educational dan non educational yang sangat modern juga.  Secara umum, hubungan cultural dan emotional antara kyai dan santri sangat erat. Para santri menganggap kyai sebagai sentral figur sehingga mereka mentaati segala petuah dan nasihatnya, bahkan ketaatan semacam ini menjadi doktrin di pesantren.
Pada mulanya, pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak ustaz, kyai muda, dan ulama: mereka yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Namun dalam perkembangannya pesantren melakukan adaptasi dengan sistem pendidikan modern dengan dual kurikulum: agama dan non agama, tujuannya mencetak ilmuan agamis atau kyai intelektual. Dengan kurikulum yang beragam, guru juga beragam kualifikasinya.
Karena ragam program yang ditawarkan, dengan sendirinya kurikulum di pesantren juga menjadi beragam. Pesantren tradisional masih menekankan pada kajian-kajian kitab kuning (sebagian besar kitab klasik), yang mencakup tauhid, fiqh, sejarah Islam, akhlak, dan ilmu alat (Nahwu, sharaf, dan semacamnya), yang diajarkan secara sorogan dan badongan.  Apabila dibuat system klasikal mungkin ini menjadi Madrasah diniah. Pesantren yang telah membuka sekolah atau madrasah mengadaptasi kurikulum  nasional dan tentu lebih complex system pembelajaran dan managemennya.
Pesantren bebas menerapkan 24 jam operasional belajar. Pada umumnya, pesantren tradisional melakukan proses transformasi keilmuan melalui one-way-communication. Dengan cara ini kyai atau ustaz menjadi sumber pembelajaran utama. Akan tetapi, sistem sekolah yang ada di dalam pesantren hampir tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah di luar lingkungan pesantren, yaitu proses pembelajaran yang lebih variatif dan dinamis.
Dulu, kualitas input pesantren belum teruji, karena tidak ada saringan masuk pesantren. Kunci utama masuk pesantren adalah “pokoknya krasan.” Dengan sistem sekolah, calon santri terpaksa harus diseleksi. Tujuan santri di pesantren sangat bervariasi: mulai dari mencari ilmu, menunggu datangnya jodoh sampai menunggu datangnya ilmu ladunni, meskipun qolla, tanpa batas waktu yang ditentukan. Tetapi pesantren yang sudah memadukan system pendidikan modern berbeda. Masuk dan keluarnya siswa (santri) berbarengan dengan masa usia sekolah. Dengan demikian tujuan santri ke pesantren juga berubah, beragam, dan time-bound (ada batas waktu). Dengan demikian, sebagian santri menekankan pada pelajaran sekolah, sebagian pelajaran kepesantrenan dan sebagian lain campuran keduanya.
Masih banyak yang berkeyakinan bahwa pesantren merupakan wadah dan kawah candradimuka pendidikan karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun moralitas dan karakter bangsa. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, pada pembukaan Konferensi Wilayah XVI Nahdlatul Ulama Jawa Barat menegaskan bahwa sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa sejak dini melalui lembaga pendidikan pesantren. Lebih dari 50 persen penduduk Muslim di Indonesia merupakan Nahdiyin yang mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan pembentuk moral. Ini potensi yang sangat penting untuk membentuk karakter bangsa ke depan.
Paling tidak ada dua alasan mendasar. (1) Tujuan dan titik tekan di pesantren adalah pembangunan akhlak, meskipun dengan memadukan berbagai keilmuan di dalamnya. (2) Penerapan pola pembinaan santri selama 24 jam dengan cara tinggal di asrama, yang memungkinkan kyai dan pendidik dapat mengontrol perilaku santri dan mengarahkan sesuai dengan akhlak Islam. Kesuksesan mendidik karakter dalam pesantren didasarkan pada empat komponen. Pertama, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi masjid, pemondokan, dan dimensi komunitas lainnya oleh kiai/ustad. Kedua, moral feeling dikembangkan melalui pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Ketiga, moral action meliputi penerapan konsep moral dalam tindakan nyata, melalui serangkaian program pembiasaan dalam melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter agama di lingkungan pesantren. Keempat, role model (uswatun hasanah) yang dilakukan oleh seluruh tenaga pendidiknya. Dengan proses seperti itu, para santri akan dengan mudah membentuk karakter positif yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik masih dalam lingkungan pesantren maupun setelah kembali di tengah-tengah masyarakat.[17]
2.      Tujuan pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia
Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).[18]
Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates, Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.
Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut dengan menyatakan “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2. Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.”
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama  Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang.
Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.
Meskipun  dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri dapat dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa.






IV.             Kesimpulan
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  Tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); Tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); Tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)
Tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.











Daftar Pustaka
Albertus, Doni Koesoema. 2010. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Aunillah, Nurla Isna. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.
Greetz, Clifford. 1983. Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Madjid, Nurcholish. 1999. Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Dhofier, Zamkhsyari. 2002. Tradisi pesantren. Jakarta: Mizan.
Wahjoetomo. 2000. Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin, M. 1991. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamid, Abu. 1983. Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan. Jakarta: Rajawali press.
Tobroni, http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan.
Nata, Abuddin. 2007. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Mu’in, Fatchul. 2011. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media.

                                              



[1] Doni Koesaema Albertus, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 79-80
[2] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Laksana, 2011)h. 19
[3] Ibid., h. 18-19
[4] Clifford Geertz, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), h. 268

[5] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 19
[6] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: Mizan, 2002), hlm. 18
[7] Wahjoetomo, Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 70
[8] M. Arifin. Kapita Selekta Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 240
[9] Abu Hamid, Sistem Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 240
[10]Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),  hlm. 219
[11] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[12]Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[13]Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[14] Fadlullah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13
[16]Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
[18]Abdul majid, Dian Andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)