Jumat, 07 November 2014

"Coretan Cerpen"



Baru Kusadari, Kau Dekat denganku
By : Siti Fatihatul Ulfa
 
          Aku hidup dan dibesarkan di suatu desa terpencil yang asri dan damai yaitu desa yang berada di wilayah Ungaran, namun aku tak merasakan kenyataan itu. Yah.. keluh kesahku karena ulah seorang pemuda yang  tak kuharapkan kehadirannya dalam hidupku. Ya Tuhan, mengapa engkau beri aku  yang tidak sesuai dengan do’aku. Di tiap bisunya malam aku selalu mengharap kepada-Mu untuk menghadirkan seorang sosok idaman yang kelak menjadi imamku. Aku tidak menyalahkan dia yang selalu menggangguku, hmmm.. mengapa ketika melihatnya hatiku tertutup tanpa sedikit celah baginya, walaupun aku belum mengenal dirinya secara mendalam.
 Malam itu terasa hening tanpa hiasan bintang, eloknya bulan telah sirna tertutup mendung. Di malam itu aku memutuskan untuk pergi mencari kedamaian dan memutuskan untuk meninggalkan desa kelahiranku. Meskipun terasa berat meninggalkan keluargaku, tetapi  ini keputusan yang sudah bulat. Karena pemuda itu sebut saja Anjas yang terus saja mengusik kehidupanku, keputusanku itu sudah di- ketahui adikku. Dari arah yang tak terduga adikku menyapa ketika aku sedang mengemas barang-barang ke dalam tas.
“Kak kamu yakin mau pergi ke Wonogiri?”, tanya Nelly dengan nada terkejut.
Secara spontan, aku menjawabnya,”Iya dik.
“Kenapa kak?” pasti karena Anjas ya.. sahut Nelly.
“Hmm, iya, Kakak sudah tidak betah akan sikapnya yang kian hari sikapnya menerorku”, dengan rasa kesal aku menjawabnya.
“Ya sudah kalau memang itu yang terbaik untuk kakak, lakukanlah.”
“Aku di sini akan menjaga adik dan ibu dengan baik”, ucap Nelly dengan nada meredam keresahanku.
Makasih dik”, sahutku dengan lega.
“Ya kak, Take care, tegas Nelly.    
“Pasti”,  sahutku lantang.
Aku mulai melangkah menjauh dari rumahku  dan terus berjalan, tanpa aku sadari pada saat itu Anjas memergoki akan kepergianku, entah dari mana ia tahu tentang kepergianku.
“Mau kemana Zah?”,  tanya Anjas dengan mimik penasaran.
“Ke Wonogiri”, jawabku singkat.
“Ya sudah aku anterin ke halte”, sahut  Anjas dengan penuh harapan.
 Dengan segera ia menuju mobil dan mendekatkanya ke arahku.
Makasihucapku singkat.
“Kalau nggak berkenan, ya... aku tungguin sampai busnya datang”, gerutu Anjas sembari keluar dari mobilnya dan mendekat ke arahku.
Gak usah, kamu langsung pulang saja, pasti keluargamu akan lebih membutuhkan bantuanmu”, tolakku dengan santai.
“Tapi...”, sahut Anjas.
“Pulanglah ! ”, sambungku sebelum ia menyelesaikan ucapannya.
“Aku minta maaf”, ucap Anjas dengan mimik penyesalan. Tapi aku hanya terdiam tanpa kata.
Bus  yang kutunggu akhirnya datang juga, aku menaikinya seakan tanpa ada rasa ragu meskipun penuh sesak, karena aku ingin sampai rumah nenek lebih cepat. Semakin lama semakin jauh dan menghilang begitu saja dari pandanganku sosok Anjas yang berdiri diam, bagai patung karena merasa bersalah.
Setelah tiga jam berada di bus, akhirnya tiba juga di desa tempat nenekku tinggal. Ketika bus berhenti, aku turun dengan tenang dan rasa nyaman mulai merasuk dalam jiwa, ”Inilah kehidupanku yang baru”, gumamku dalam hati. Ku langkahkan kakiku dengan riang, sesampainya di depan pintu ku ketuk pintu nenek yang lama kurindu.
“Assalamu’alaikum”, ucapku.
“Waalaikum salam”, suara nenek semakin mendekat dan menghampiriku.
“Masya’allah, cucuku cantiknya.... Sudah dewasa lagi. Nenek pangling”, sanjung nenek kepadaku.
“Kamu ke sini sama siapa?tanya nenek  sembari menengokkan kepala ke arah kanan -kiri.
“Sendiri nek”, jawabku dengan senyum manisku.
“Masih ingat  jalannya? Kan dah lama nggak ke sini, tanya nenek dengan nada meledek, kebetulan aku sudah lama belum berkunjung ke rumahnya.
“Masih dong nek..... aku kan cucu kesayangan nenek, buktinya aku sampai di sini, sahutku sambil menampakkan manjaku padanya.
“Bagaimana kabar ibu dan adik-adikmu?”, tanya nenek sambil jalan mencari hidangan untukku.
“Alhamdulillah baik nek”, sahutku dengan tubuh terlentang di sofa.
“Syukurlah kalau begitu, ayo... sekarang  bawa tasmu ke kamar dan langsung ke meja makan, lahap sampai kenyang”, perintah nenek dengan nada kasih sayang nenek kepada cucunya.
“Iya nek........”, kataku manja.
Setelah makan aku menuju kamar, berjalan dan duduk di samping jendela. Aku tercengang kaget melihat pria yang aku mimpikan berada di luar.
Kemudian aku lari menuju keluar dan mencarinya, tetapi ia tak kutemukan, hingga aku merasa lelah.
“Hei... suara terdengar mengagetkanku  dan membuatku salah tingkah.
Aku hanya tersenyum tipis pada bibirku.
“What is your name?”, tanya Dika.
“Zahra.... Ya, panggil saja Zahra ”, jawabku malu.
“Kamu cantik”, ucap Dika
Ohh ya..?”, sahutku tersipu.
“Ya, belum pernah aku menjumpai wanita secantik dirimu.”
Aku menjadi salah tingkah dibuatnya.
“Di kala dirimu datang kau pancarkan wajahmu dan merasuk dalam hatiku”, ungkap Dika.
Di kala kata itu terucap dari mulutnya, hatiku terasa bergetar gak karuan, rasa cinta mulai tumbuh. “Apakah dia cintaku” kataku dalam hati.
Dengan berjalannya waktu, rasa cintaku mulai tumbuh subur seusai pengungkapan cintanya kepadaku.
Maukah kau jadi pendampingku tuk selamanya”, rayunya kepadaku.
Ku jawab dengan memandang langit, “Aku ingin lamunan kosong ini kau isi dengan cintamu, namun aku sadar akan siapa diriku ini yang tak pantas tuk bersanding di sampingmu.
“Kenapa?... sahutnya padaku. “Justru yang beruntung adalah diriku, karena kau sempurna segalanya, sedangkan aku sebaliknya”, rayuan gombalnya makin menjadi.
Setiap kali ia menghampiriku, kutanggapi dengan hangat dan penuh perhatian. Ia mulai mengungkapan janji-janji manis yang membuat besar harapanku kepadanya.
Hari demi hari kami lewati bersama, alangkah terkejutnya ketika itu aku dijumpai seorang wanita dan berkata “Aku mohon please jauhi Dika, aku tak ingin kehadiranmu di desa ini malah semakin mempersulit dan membuat hati Vera terluka, tidak hanya itu, bisa jadi  akan menimbulkan fitnah di antara kalian. Kasihan Vera, dia ingin mempercepat pernikahannya, bukan malah memberi kesempatan kepada anda untuk coba mendekatinya”, papar teman Vera sekaligus tetangga nenek. Vera adalah tunangan Dika, yang dalam waktu dekat ini akan segera melangsungkan pernikahan mereka.
Setelah kejadian itu aku merasa terpukul dan memutuskan utuk kembali ke desa halamanku. Ternyata aku baru sadar aku adalah korban gombalannya.
Hp-ku bergetar, ketika aku lihat ternyata inbox terisi pesan dari Dika, bahkan ia sering kali menelponku tapi ku tak ingin membalasnya, karena sudah tahu hidung belangnya. Aku tak ingin mengusiknya lagi, meskipun hati ini merasakan kepedihan dan penuh penyesalan.
Dan inbox terakhirnya berisi, ”Aku akan menikah tiga hari lagi ku harap kamu bisa menghadirinya.”
Rasa pedih, bagai ditusuk-tusuk hati ini semakin terasa, hingga tak kuasa aku menahannya. Dengan datangnya kabar itu, aku semakin mantap bahwa cintaku telah dipermainkan.
Waktu terus berlalu, namun luka ini tak kunjung sembuh yang membuat lemahnya diri ini, hingga terbaring sakit tak berdaya. Di saat-saat seperti ini Anjas merelakan  waktunya untuk menjengukku, dan terus mencurahkan perhatiannya hingga  aku sadar bahwa sebenarnya dia sangat menyayangiku. Aku mulai mengenalnya lebih dalam dan mengetahui bahwa dia telah berubah, bukan seperti Anjas yang sebelumnya, yang terus mementingkan egonya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.
Dengan datangnya kembali Anjas dalam hidupku, yang memberi warna berbeda,  aku semakin merasakan cinta ini tumbuh dengan sendirinya, aku sekarang sadar orang yang dulunya ku anggap sebagai pengaggu sekarang menjadi penentram jiwaku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)