Selasa, 25 November 2014

Fiqih Pernikahan


Doc. Internet
 
Disusun oleh :
Muhammad Ruli (134211027)
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
Fazat Laila  (134211029 )



       I.            PENDAHULUAN
Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Allah tidak menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu saling terikat.
Bentuk pernikahan ini, telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri diletakkan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus. Peraturan yang seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya.[1]
    II.            RUMUSAN MASALAH
Didalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian, tujuan, syarat-rukun, pencatatan dan pernikahan Islami di Indonesia.

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian pernikahan
Pernikahan berasal dari kata “Nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.[2]
Menurut istilah hukum syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Abu Yahya Zakariya Al Anshary mendefinisikan, Nikah menrutu istilah syara adalah akad yang mengandung hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.
Muhammad Abu Ishrah menambahkan, yaitu akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.[3]
Sayyid Sabiq lebih lanjut mengomentari: Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada manusia. merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.[4]
B.     Tujuan pernikahan  dalam Islam
1)      Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Menikah adalah usaha untuk menyempurnakan apa saja yang disenangi oleh Allah, yaitu untuk mengambangkan populasi manusia dan kehidupan keluarga yang bahagai yang umumnya ditentukan dengan kehadiran anak-anak merupakan buah hati dan belahan jiwa dan pembantu – pembantu dalam hidup didunia bahkan akan memeberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh. Seperti sabda nabi yang diriwayatkan muslim dari Abu Hurairah.
اذامات الانسان انقطع عمله الا من ثلا ث صد قة جارية او علم ينتفعه به او ولدصالح يدعوله                         
“Apabaila manusia meninggal duni,maka putuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya”.
2)      Memenuhi hajat manusia untuk penyaluran syahwatnya dan penumpahan kasih sayangnya, berdasar tanggung jawab.
Sudah menjadi kodrat iradah Allah manusia diciptakan berjoodoh-jodoh dan diciptkna oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antar pria dan wanita, sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baaqarh 187 yang menyatakan:
 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3                                                               
187.  ; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka.
Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual, juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang antara peria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab, karena penyluran cinta dan kasih sayang diluar pernikahan tidak dapat menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak.
3)      Memelihara diri dari kerusakan
Sesumgguhmya ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan melalui perkawinan dan orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu condong untuk mengajak pada perbuatan yang tidak baik. Al-Quran surat yusuf ayat 53
4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/
53.  Dan karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
4)      Untuk menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan kesungguham, mencari harta yang halal.
Karena apabila seseorang yang telah berkuluarga akan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan mencari rizki yamg halal sebagai bekal hidup keluarganya.
ما أنفقه الرجل على اهله فهو صدقة,وان الرجل ليؤ جر فى اللقمة يرفعها الى امرإته                                           
Nafkah yang dikeluarkan oleh seorang laki-laki (suami) umtuk keluarganya termasuk sedekah; seorang laki-laki diberi pahala kerena sesuap makanan yang masuk kemulut istrinya (HR. Muttafaq’alaih)
5)      Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang sesama warga.[5]
C.     Rukun-rukun pernikahan  
Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiah hanya ijab daan qabul saja, sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu sighat ( ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-istimtaa’ (bersenang senang) yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan, sedangkan mahar bukan merupakan suatu yang sangat menetukan dalam Akad. Mahar merupakan syarat seperti saksi.
Menurut para ulama hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menurut mereka adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun ijab menurut jumhur ulama perkataan yang keluaar dari wali istri atau orang yang menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul merupakan hanya merupakan reaksi dari adanya ijab. Jika qabul diucapkan sebelum ijab maka bukan namanya qabul karena sudah tidak bermakna lagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukan akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh pihak suami.
D.     Syarat-syarat sahnya pernikahan
Ada sepuluh syarat yang disyaratkan demi keabsahannya sebuah pernikhan, sebagian telah menjadi kesepakatan para ulama dan sebagian lagi yang masih diperselisihkan.
a)      Objek cabang
Si perempuan hendaknya tidak diharamakan dalam jangka waktu tertentu, atau diharamkan karena adanya sebuah shubhat ( keraguan), atau diperselisihkan di kalangan para ahli fikih seperti menikahkan yang masih dalam masa iddah dari talak baa’in, jika objek cabang ini tidak terealisasikan maka menurut ulama hanafiyah akadnya tidak sah.
            Objek asli: hendaknya siperempuan bukan merupakan perempuan yang diharamkan selamanya bagi si lelaki. Seperti saudari, putri, bibi dari ayah bibi dari ibu.
b)      Shighat Ijab dan Qabul harus kekal dan tidak temporal
Maskudnya jika pernikhan diberi batasan waktu maka pernikahan tersebut batal, seperti dilakukakan dengan shighat tamattu’ (bersenang-senang).
c)      Kesaksian
Menurut empat madzhab telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat untuk syahnya pernikahan.Pernikahan tidak sah tanpa dua saksi selain wali, karena sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Aisyah.
لاَ نكاح إلا بوليَ وشا هدي عدل                                                                                       
“Tidaklah ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua orang saksi”. (HR Darul Qutni dan Ibnu Hibban).
d)     Ridha kedua belah pihak dan tidak ada paksaan
Ini merupakan syarat menurut jumhur ulama,salain Hanafiah. Pernikahan tidak sah tanpa keridhaan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, jika salah satu pihak dari kedua belah pihak tersebut dipaksa menikah menikah dengan diancaman dibunuh, pukul keras atau penjara dalam waktu lama.
e)      Menentukan kedua mempelai
Para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyebutkan sarat ini.Akad nikah  tidaklah sah melainkan atas dua mempelai yang telah ditentukan. Karena tujuan menikah adalah diri kedua mempelai tersebut, maka tidaklah sah apabila tanpa menentukannya.
f)       Salah satu mempelai atau wali tidak sedang dalam keadaaan Ihram Haji atau Umrah.
Ini merupakan syarat menerut jumhu ulama selain hanifah.Pernikahan tidak lah sah jika salah satu dari kedua mempelai sedang dalam keadaan Ihram haji atau umrah.orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan, karena sabda Nabi saw. Sebagaiman diriwayatkan oleh Utsman:
       لاَيَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ وَلاَيُنكِحُ                                                                           
    Orang yang sedang beihram tidak boleh menikah atau manikahkaan. (HR Muslim)
g)      Pernikhan harus memakai dengan mahar menurut imam malikiyah
Menurut para ulama malikiyah pernikahan harus dilakukan dnegan mahar.Jika tidak disebutkan dalam akad maka harus disebutkan ketika hendak bersenggama, atau ditetapkan mahar mitsli stelah bersenggama. Dan menurut malikiyah menikah tampa mahar tidak lah sah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, tidaklah rusak akan nikah tanpa mahar, disyaratkan tanpa ada mahar. Karena mahar bukan merupakan rukun dalam akad, pun bukan juga syarat, akan tetapi mahar merupakan salah satu hukum dari hukum hukum akad.
h)      Tidak adanya kesepakatan suami dengan para saksi untuk menyembunyikan pernikahan ini
menurut ulama malikiyah apabila terjadi seperti ini hukum pernikahan tidaklah sah. Sedangkan menurut jumhur ulama ini bukan merupakan syarat sahnya akad, Seandainya  suami dan para saksi bersepkat untuk menyembunyikan pernikhan dari khalayak manusia maka akad tidaklah rusak. Karena pengumuman pernikhan dapat teraelisasikan hanya dengan kehadiran dua saksi.
i)        Salah satu dari kedua mempelai tidak sedang menderita penyakit yang mengkhawatirkan
Ini merupakan syarat menurut malikiyah. Menurut pendapat yang mahsyur, tidaklah sah nikah lelaki atau perempuan yang sakit membahayakan diri mereka. Seperti penyakit yang biasanya berakhir pada kematian.
j)        Kehadiran wali
Ini merupakan syarat menurut jumhur ulama, salain hanafiah. Akta nikah tidaklah sah kecuali dengan kehadiran seorang wali sebagaimana Firman Allah ( Al Baqarah:232)
Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&
232., Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya
Imam Syafi’i berkata,”Ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan tentang pentingnya wali, jika tidak demikian maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi perkawinan”juga karena sabda Nabi saw.
لاَ نكاح إلا بولي                                                                                    
Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.[6]
E.     Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan merupakan sebuah keterangan tertulis tentang akad pernikahan yang bertujuan untuk mendapat keabsah-an dari hukum Negara dari adanya akad tersebut.
Pengaturan pencatatan nikah tertulis secara jelas di dalam UU Perkawinan. Yang di antaranya :
1.      Undang-Undang No.32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, di seluruh daerah Luar Jawa dan Madura.[7]
2.      Undang-Undang No.1 Tahun 1974.[8]
Pasal 2 Tentang Dasar Perkawinan Ayat 1
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat 2
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.[9]
Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974, tentang Perkawinan.[10]
Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undangundang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untukitu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
F.      Pernikahan Islami di Indonesia
Di Indonesia berdasarkan UU No. 1/PNS/1965 diakui ada 5 (lima) agama, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha.[11]
Khususnya pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”[12]
Masing-masing agama yang diakui ini, mempunyai ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya. Pada prinsipnya setiap agama ini menghendaki penganutnya untuk menikah dengan orang yang sama agamanya dan tidak menghendaki penganutnya untuk mengadakan pernikahan dengan penganut agama lainnya, bahkan ada agama tertentu yang melarang penganutnya untuk mengadakan pernikahan dengan penganut agama lainnya.
Berikut akan dikemukakan pandangan dari agama-agama yang diakui di Indonesia tentang pernikahan.
a.       Pandangan Agama Islam
Menurut Hukum Islam pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah. Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Sebagaimana penegasan Nabi saw:
النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه البخارى)
     Maksudnya: Pernikahan (keterikatan dalam hubungan suami istri) adalah salah satu sunnahku (cara hidupku). Maka siapa yang tidak senang dengan cara hidupku (yakni yang hendak mengekang dorongan seksualnya sehingga tidak menyalurkannya melalui pernikahan yang sah, demikian juga yang bermaksud meraih kebebasan memenuhi dorongan seksual itu tanpa pernikahan) maka dia bukan dari (yakni termasuk dalam kelompok umat)-ku.” Demikian sabda Rasul saw. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik ra.)[13]
Dan telah dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi bahwa agama Islam menganjurkan pernikahan karena memandang pernikahan mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi, guna menjaga keselamatan hidup keagamaan yang bersangkutan. Dari segi lain pernikahan dipandang mempunyai nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluriah hidupnya guna melangsungkan kehidupan jenis, mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, sengaja hidup membujang tidak dapat dibenarkan.
Untuk melakukan suatu pernikahan, bagi para pemeluk agama Islam selain memenuhi syarat-syarat pernikahan juga harus dipenuhi rukun pernikahan. Adapun perbedaan antara syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan, yaitu bahwa syarat-syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum pernikahan dilangsungkan, sedangkan rukun pernikahan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu pernikahan berlangsung.
Dalam Hukum pernikahan Islam ada 4 (empat) rukun pernikahan yang harus ada sebagaimana (pasal 14 kompilasi Hukum Islam):
ü  Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
ü  Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
ü  Adanya wali dari calon istri.
ü  Adanya dua orang saksi.
Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah, dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah.[14]
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
b.      Pandangan Agama Katholik
Menurut agama Katholik bahwa pernikahan adalah sakramen, karena agama Katholik memandang pernikahan sebagai suatu yang suci serta persatuan cinta dan hidup antara seorang pria dan seorang wanita adalah merupakan persatuan yang luhur.
Pernikahan merupakan persetujuan antara seorang pria dan wanita untuk saling mengikatkan diri sampai salah seorang dari mereka meninggal dunia dan hanya pada seorang itu saja untuk memperoleh keturunan. Oleh karena itu untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut agama Katholik, pada masing-masing pihak harus terkandung maksud.
c.       Pandangan Agama Protestan
Mengenai pemahaman akan arti pernikahan agama Protestan mempunyai pedoman yang sama dengan agama Katholik, yakni yang terdapat dalam Alkitab. Menurut agama Protestan Tuhan menghendaki pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup, yang berlaku seumur hidup, sehingga mereka harus tetap setia dan saling mengasihi da tidak boleh bercerai. Jadi menurutnya bahwa pernikahan itu bersifat kekal sampai maut menceraikan mereka.
d.      Pandangan Agama Hindu
Menurut pandangan agama Hindu pernikahan yaitu sebagaimana terdapat dalam berbagai sastra dan Kitab Hukum Hindu (Smriti atau Wiwaha).
Dalam masyarakat Hindu soal pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam kehidupan mereka. Menurut kitabnya Manusmriti, pernikahan bersifat religious karena pernikahan adalah ibadah dan obligatoir sifatnya karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra.
Pernikahan (wiwaha) diidentikkan dengan sakramen yang menyebabkan kedudukan lembaga pernikahan sebagai lembaga yang tidak terpisah dari hukum agama (dharma).
e.       Pandangan Agama Budha
Dalam buku Nasehat pernikahan agama Budha dari Departemen agama, memandang pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang harus dijalin dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh sang budha. Pernikahan yang berdasarkan cinta kasih dipersatukan dalam ikatan lahir batin bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik dalam kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang.
Dalam pedoman hukum pernikahan umat Budha yang termuat dalam keputusan-keputusan Sangha Agung Indonesia tentang Hukum Pernikahan, tata cara pernikahan dan tata cara kematian menurut Hukum Budha, antara lain disebutkan: upacara pernikahan umat Budha dianggap sah apabila melalui upacara ritual yang diadakan di Vihara, Cetya, Rumah atau Kantor, sepanjang ruangan mencukupi untuk itu yang dilengkapi dengan altar.[15]

 IV.            KESIMPULAN
Pernikahan merupakan asas yang paling kokoh dan prinsip yang paling kuat agar terciptanya sebuah tujuan yang baik yaitu kelanggengan, kebahagiaan keluarga dan agar anak-anak tumbuh dengan nuansa kecintaan, kelembutan, serta terwujudnya ketenangan batin masing-masing dari suami istri. Dalam masalah pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Dan Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani.


    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan tentang Pernikahan. Semoga bermanfaat, dan tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran untuk membangun perbaikan makalah selanjutnya.










DAFTAR PUSTAKA

Az-zuhaili , Wahbah 9, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikri, 2007. 
Dradjat, Zakiah , Fiqih Islam, Yokyakarta: PT Dana Bakti Wakaf,  1995.
Eoh, O. S,  Perkawinan Antar Agama: Dalam Teori dan praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, , Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010.
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia 2011.
PP_No_9_1975.pdf/22 November 2014.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 6, Bandung: PT Alma’arif 1980.
Shihab, M. Quraish, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2011.
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan.       



[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif 1980), hlm. 7-8.
[2] Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010) Ed. I Cet IV, hlm.7

[3] Ibid. hlm. 9
[4] Ibid. hlm. 11
[5] Wahbah az-zuhaili 9, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007),  hlm. 67-84.
[6] Zakiah Dradjat, Fiqih Islam, (Yokyakarta: PT Dana Bakti Wakaf,  1995), hlm. 45-50.
[7] Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2011) Ed. I Cet III, hlm.20
[8] Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia 2011) hlm.76
[9] Syarifudin, Amir, Op.cit. hlm. 25
[10] PP_No_9_1975.pdf/22 November 2014
[11] O. S. Eoh, Perkawinan Antar Agama: Dalam Teori dan praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 105.
[12] Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan.
[13] M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal, 55-56.
[14] O. S. Eoh. Op. Cit. hlm. 107.
[15] O. S. Eoh. Op. Cit. hlm. 108-114.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)