Kamis, 13 November 2014

Makalah Hadist Dha'if



Disusun oleh:
Muhammad Ruli (134211027)
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
Fazat Laila (134211029)


         I.    PENDAHULUAN
         Hadits mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembinaan hukum Islam, sebab disamping berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang masih samar dan global dalam al Qur’an Hadits berfungsi menetapkan hukum (Bayan Syar’i) terhadap suatu perkara yang belum ada dalam al qur’an.
        Besarnya peranan Hadits ini harus disertai dengan kecermatan dalam memilah dan memilih Hadits yang benar-benar dari Rasulullah. Sebab suatu hadits yang diragukan berasal dari Nabi maka akan sulit dipertanggung jawabkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al qur’an. Maka jika tersebarnya hadits-hadits semacam itu dapat menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. Di makalah ini akan dibahas mangenai Hadits dhaif yang tidak mempunyai legitimasi yang kuat dibanding Hadits shahih dan hasan. Bahkan sebagian ulama ada yang melarang Hadis ini dijadikan sumber hukum. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.

                                                                                                   
      II.            RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah pengertian hadits dhaif?
2.      Sebab hadis dhaif ditolak?
3.      Bagaimana pembagian hadits dhaif?
4.      Bagaimana pendapat ulama tentang kehujjahan hadis dhaif?
5.      Apa saja sebab-sebab terangkatnya hadis dhaif?

   III.            PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hadis Dhoif
 Menurut bahasa Dha’if  artinya aziz atau lemah. Lawan dari Qawwiy yang berarti kuat. Adapun menurut Muhadditsin adalah :
هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول. وقال اكثر العلماء هو ما لم يجمع صفت الصحيح و الحسن.
Hadis dhoif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhoif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadis shohih dan hasan.[1]
Adapun pengertian lain yaitu:

مَافَقِدَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الْحَدِيْثِ الْمَقْبُوْلِ
“Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).”
 Nur Ad-Din’ Atr menulis: “Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (Hadits yang shahih atau hadits yang hasan). Sedangkan Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang di ambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau yang diterima). sedangkan menurut istilah:
مَا تَوَا فرت فِيْهِ جَمِيْعِ شُرُوْطِ الْقَبُوْلِ
“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.
Adapun syarat-syarat hadits maqbul ada enam, yaitu:
  1. Rawinya adil
  2. Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
  3. Sanadnya bersambung.
  4. Padanya tidak terdapat suatu kerancuan.
  5. Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak.
  6. Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan). Demikian, al-Biqa’I dan al-Suyuthi serta yang lainnya menghitung syarat-syarat diterimanya hadits tersebut. Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang kedua mereka tidak menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”. Ini adalah suatu masalah, sebab bila seorang rawi tidak sempurna ke-dhabith-annya, maka haditsnya adalah hadits hasan, bukan dha’if. Oleh karena itu ungkapan untuk kriteria yang kedua ini adalah dengan “menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”.
     Alasan pemberian predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka hal itu menunjukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan sesuai dengan keadaan semula; dan sebaliknya bila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada yang menunjukan demikian.
2.      Sebab-sebab Hadits dha’if ditolak:
 Para ahli hadits mengemukakan ditolaknya hadits dha’if ditinjau dari dua jalur:
  1. Sanad hadits
Dari sisi sanad hadits dibagi menjadi dua bagian:
a)      Ada kecacatan pada perawinya, baik meliputi keadilanya maupun kedhabitanya, yang diragukan dalam 10 macam:
1)      Dusta
2)      Tertuduh dusta
3)      Fasik
4)      Banyak salah
5)      Lengah dalam menghafal
6)      Banyak wahamnya
7)      Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah (dipercaya)
8)      Tidak diketahui identitasnya
9)      Penganut bid’ah
10)  Tidak baik hafalanya
b)      Sanadnya tidak bersambung
1)      Gugur pada sanad pertama
2)      Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
3)      Gugur dua orang periwayat atau lebih secara berurutan
4)      Jika periwayatnya yang digugurkan tidak berturut-turut
Matan hadits
    1. Matanya hanya disandarkan kepada sahabat
    2. Matanya hanya disandarkan pada tabi’in
Seperti misalnya hadis dhoif adalah sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.[2]

3.      Macam-macam Hadis Dhoif

1.      Klasifikasi Hadis Dhoif berdasarkan Cacat pada keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.       Hadis Maudhu’
1.      Pengertian hadis maudhu’
                 
هو المختلع المصنوع المنسوب الي رسول الله ص م زورا وبهتان سواء كان ذالك عمدا ام خطآ.
Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik di sengaja maupun tidak.
2.      Ciri-ciri hadis maudhu’
Ciri-ciri hadis maudhu’ terdapat pada sanad dan matan hadis.
      Ciri-ciri pada sanad hadis yaitu, adanya pengakuan dari si pembuat sendiri, qarinah yang memperkuat adanya pengakuan dari si pembuat hadis maudhu’, qarinah yang berpautan dengan tingkah laku.
      Adapun ciri pada matan hadis ditinjau dari segi lafadz dan ma’na. Dari segi lafadz yaitu, bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih. Sedangkan dari segi ma’na yaitu, ketika hadis bertentangan dengan Alquran, hadis mutawattir, ijma’, dan logika yang sehat.
3.      Karya-karya dalam hadis maudhu’
      Para Muhaddistin mengumpulkan hadis maudhu’ dalam sejumlah karya, di antaranya :
·         Al-Maudhu’at, karya Ibn Al-Jauzi
·         Al-La’ali Al-Mashnu’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Hadist As-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘iraq Al’Kittani
·         Silsilah Al-Hadist Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani.
b.      Hadis Matruk
هو الحديث الذي في اسناده راو متهم بالكذب.
Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.
c.       Hadis Munkar
            Yaitu hadis yang sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahanya, banyak kelengahan dan tampak kefasikanya. Lawanya dinamakan Ma’ruf.
d.      Hadis Syadzdz
                  Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul (menyalahi riwayat yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya yang lebih banyak atau daya hapalnya yang lebih tinggi).[3]
e.       Hadis Muallal
                  Hadis yang kelihatanya tidak mengandung cacat, tapi setelah diteliti ternyata mengandung cacat (sanad, matan, atau keduanya)
f.       Hadis Mudhthorib
                  Mudhtharib berarti goncang. Jadi hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan melalui jalur yang sanad atau matanya berlawanan. Baik periwayat itu satu atau beberapa orang.
                  Adapun hadis yang diriwayatkan  melalui berbagai jalur dengan redaksi yang berbeda tetapi isinya tetap sama, maka hadis tersebut tidak termasuk hadis mudhtharib, tetapi riwayat bil ma’na. Dan justru hadis tersebut menguatkan jalur yang satu dengan jalur yang lainya.
g.      Hadis Maqlub
                  Yaitu hadis yang periwayatanya menggantikan sebagian dengan yang lain, baik yang ditukar sanad atau matan, baik disengaja ataupun tidak.[4]
2.      Klasifikasi Hadis Dhoif Berdasarkan Gugurnya Rawi
a.       Hadis Muallaq
                  Menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanadnya disebut muallaq karena hanya tersambung pada sanad bagian atas saja. Menurut istilah adalah, hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
                  Contoh hadis muallaq ,
لا تفاضلوا بين الآنبياء
Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi.
Dalam hadis ini Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a. Kemudian dari nabi bersabda … Padahal Bukhari tidak pernah bertemu dengan Majisyun.
b.      Hadis Mu’dhal
                  Menurut bahasa mu’dhol berarti sesuatu yang di buat lemah atau lebih. Adapun menurut istilah Muhadditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.
c.       Hadis Mursal
            Menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang mempunyai arti “yang dilepaskan”. Sedangkan menurut istilahnya adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in. Baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
            Seperti yang dapat kita ketahui bahwa hadis mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang langsung menerima berita dari rasulullah SAW. Sedangkan yang menggugurkan bias saja seorang tabi’in atau sahabat kecil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan, hadis mursal terbagi menjadi mursal jail, mursal shahabi, dan mursal khafi.
1.      Mursal Khafi, pengguguran yang dilakukan oleh para tabi’in jelas sekali, bahwa orang yang menggugurkan tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan.
2.      Mursal Shahabi, pemberitaan sahabat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak mendengar atau menyaksikan sendiri. Karena ketika Rasulullah hidup, ia masih kecil tau sebagai orang yang terakhir masuk islam.
3.      Mursal Khafi, diriwayatkan oleh tabi’in, di mana tabi’in tersebut hidup pada zaman sahabat, tetapi tidak pernah mendengar satu hadis pun dari sahabat.[5]
d.      Hadis Munqhoti’
            Adalah hadis yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan, baik di ujung maupun di pangkal.[6]
Macam-macam munqothi’ sebagai berikut :
1.      Inqitho’ dilakukan dengan jelas. Bahwa si rawi meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis padanya tadi.
2.      Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar. Hanya dapat diketahaui oleh orang-orang yang  mempunyai keahlian saja.
3.      Diketahui dari pihak lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.
e.       Hadis Mudallas
            Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkanya disebut mudallas, dan perbuatanya disebut tadlis.
Macam-macam tadlis, sebagai berikut :
1.      Tadlis isnad, rawi yang meriwayatkan hadis dari orang yang pernah ditemuinya tapi tidak pernah mendengar periwayatan hadis darinya.
2.      Tadlis syuyukh, rawi yang meriwayatkan hadis dari seorang guru dengan menyebut nama kunniyahnya, keturunan, atau menyifati guru yang belum dikenal banyak orang.
3.      Tadlis taswiyah, rawi yang meriwayatkan hadis dari guru yang tsiqqoh, yang guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah tersebut menerima dari guru yang tsiqqah pula. Tetapi mudallis meriwayatkan dengan tanpa menyebutkan rawi yang lemah. Dan bahkan meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqqah semua.[7]

4.      Sikap Ulama terhadap Hadis Dhoif

1.      Madzhab pertama tidak bersedia mengamalkanya secara mutlak. Pendukung madzhab ini adalah para ulama ahli hadis. Seperti, Yahya Ibn Ma’in, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm.
2.      Madzhab kedua bersedia mengamalkanya secara mutlak. Seperti, Abu Daud, dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa lebih baik mengambil hadis dhoif daripada menempuh qiyas atau pendapat seseorang. Agaknya, hadis dhoif yang dimaksud di sini bukanlah hadis dhoif yang sangat-sangat lemah.
3.      Madzhab ketiga mengamalkan hadis dhoif untuk fadhailul a’mal dan nasehat-nasehat. Dengan syarat :
a.       Tidak merupakan hadis dhoif berat
b.      Tidak bertentangan dengan dasar agama
c.       Kalaupun hadis ini diamalkan, tapi tidak diimani bahwa hadis tersebut dari nabi, tetapi dalam rangka hati-hati.[8]

5.      Sebab-sebab Terangkatnya Hadis Dhoif

1.      Tidak boleh diamalkan
Kecuali dengan syarat-syarat :
a.       Mengenai keutamaan amal
b.      Tidak terlalu dhoif
c.       Bersumber pada dalil yang diamalkan
d.      Tidak diperbolehkan mempercayai kepastian hadis
2.      Bagi yang mengetahui hadis yang bersanad dhoif maka harus mengatakan “hadis ini sanadnya dhoif” tidak diperbolehkan dengan mengatakan “hadis ini dhoif” hanya karena kelemahan dalam sanad, karena kadang juga hadis tersebut mempunyai sanad lain yang shohih.
3.      Hadis dhoif tanpa sanad tidak boleh diucapkan dengan kata-kata “bahwasanya Nabi bersabda” tetapi harus dengan kata-kata “diriwayatkan dari Nabi” atau bentuk ungkapan lain yang mengandung makna sama.
4.      Jika hadis berma’na musykil tidak perlu dita’wil. Karna pena’wilan hanya untuk hadis shohih.
5.      Tidak diperbolehkan mengakibatkan turunya kualitas validitas hadis shohih. (pendapat Ibn Hajar dalam Fathul Birr).[9]
D.    KESIMPULAN
       Secara bahasa Dha’if  artinya ajiz atau lemah. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sedangkan sebab hadits dha’if ditolak para ahli hadits mengemukakan ditolaknya hadits ini ditinjau dari dua jalur, 1) dari segi sanad, yaitu karena ada kecacatan pada perawinya dan Sanadnya tidak bersambung, 2) Matan hadits, yaitu matanya hanya disandarkan kepada sahabat dan matanya hanya disandarkan pada tabi’in.
Hadits dha’if itu sendiri dilklasifikasikan menjadi 5 kelompok:
  1. Hadits Dhaif karena terputus sanadnya
  2. Hadits dha’if karena ketidakadilan periwayatnya
  3. Hadits dha’if karena ketidakdhabitan periwayatnya
  4. Hadits dha’if karena kejanggalan dan kecacatan, dan
  5. Hadits dha’if dari segi matan
      Sedangkan mengenai kehujjahan hadits dha’if itu sendiri para ulama berbeda pendapat. Pertama tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam bidang hukum, kedua mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik disbanding dengan pendapat manusia, dan ketiga mengamalkan hadits dha’if untuk fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.
   IV.            DAFTAR PUSTAKA                    

Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Sultan Amai Press, 2008)
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1987)
ITR, Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997)
Muhammad Hasbi Ashiddiqy, Teungku, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987)






[1] Solahudin M, Ulumul Hadis, hlm. 148
[2] Zuhri M, Hadis Nabi, hlm. 94
[3] Solahudin, op. cit., hlm. 151
[4] Zuhri M. op. cit., hlm.101
[5] Solahudin, op. cit., hlm. 153
[6] Zuhri M, op. cit, hlm. 96
[7] Solahudin, op cit., hlm. 155
[8] Zuhri M, op. cit, hlm. 96
[8] Solahudin, op cit., hlm. 155                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)