Selasa, 24 Maret 2015

PROFIL DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI TENTANG HADIS



I.                   PENDAHULUAN
Hadis, dalam perjalanan sejarahnya terlambat dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarat Islam dan umumnya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Hal ini memungkinkan adanya unsur-unsur budaya generasi periwayat masuk dalam periwayatan mereka. Karena itu untuk mengungkap sejarah hadis, harus dikaitkan dengan generasi awal periwayat hadis itu sendiri, yakni para sahabat Nabi. Para ahli hadis kontemporer dalam menilai peranan sahabat dalam periwayatan hadis sangat beragam. Pengkajian atas hadis Nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli, tidak terbatas pada kandungan dan aplikasi hadis, serta yang ada hubungan dengannya saja, tetapi juga kajian tersebut terhadap periwayatan dan materi hadis itu sendiri. Masih menurut para ahli, penelitian terhadap sanad maupun materi hadis dianggap sangat penting, karena boleh jadi sebagian dari apa yang dinyatakan sebagai hadis Nabi, setelah diteliti dengan seksama ternyata sangat lemah untuk diterima sebagai hadis dari Nabi.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai profil dan pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana profil Muhammad Al-Ghazali dan apa saja karya-karyanya?
B.     Bagaimana pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis?
C.     Contoh pemahaman Hadis Muhammad al Ghazali

III.             PEMBAHASAN
A.    Profil Muhammad Al-Ghazali dan Karya-Karyanya
a.       Profil Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali lahir pada 1917 M di Al-Bahirah, Mesir. Daerah ini dikenal banyak dilahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada zamannya, seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Hasan Al-Banna dan Muhammad Al-Madani.
Muhammad Al-Ghazali sudah menghafal Al-qur’an 30 juz pada usia 10 tahun. Pendidikan dasar dan menengahnya, ia tempuh di Sekolah Agama. Pada tahun 1937, ia melanjutkan pendidikannya pada Jurusan Dakwah, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir dan lulus pada tahun 1941 M. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab di universitas yang sama dan selesai pada tahun 1943. Semasa kuliah, ia direkrut oleh Imam Hasan Al-Banna hingga menjadi salah seorang anggota bahkan salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia aktif melakukan jihad di medan dakwah Islamiyah melalui berbagai forum seminar, pendidikan, pembinaan, khutbah, ceramah dan tulisan.
Muhammad Al-Gazali lebih dikenal sebagai da’i terutama di Timur Tengah. Materi ceramahnya yang selalu segar, gaya bahasanya semangat dan keterbukaannya merupakan daya tarik dakwahnya.
Selain sebagai da’i, ia juga seorang akademisi yang disegani, baik di almamaternya maupun di berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Ummul Qura di Makkah, Universitas Qatar di Qatar, Universitas Amir Abdul Qadir al-Islamiyah di Aljazair.[1]
Al-Ghazali juga seorang ulama Islam yang sangat peduli terhadap persoalan-persoalan umat Islam kontemporer, terutama yang berhubungan dengan dakwah dan pemikiran. Sampai wafatnya, selain menulis di berbagai majalah dan surat kabar berbahasa Arab, beliau juga menulis 48 judul buku yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Karena jasanya dalam berdakwah, baik lewat pidato (bi al-lisan) maupun tulisan (bi al-qalam), Al-Ghazali telah mendapatkan berbagai penghargaan dari beberapa negara Islam. Salah satunya yaitu dari Pemerintah AlJazair yang pernah menganugerahinya ”Bintang Jasa,” sebuah penghargaan tertinggi pemerintahan Aljazair untuk bidang dakwah Islam.
Banyak hadiah dan anugerah yang diterima Al-Ghazali bukan hanya yang berbentuk tanda jasa. Sampai kini ia juga dihormati dan disanjung oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Karena sifatnya yang terbuka, mudah dicerna dan mengesankan, karya-karyanya banyak memberikan inspirasi untuk anak muda Islam.[2]
Muhammad Al-Ghazali wafat dalam usia 80 tahun pada hari Sabtu, tanggal 9 Syawal 1416 H. Bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, ketika ia berada di Saudi Arabia untuk menghadiri seminar tentang Islam dan Barat. Wafatnya begitu tiba-tiba, diduga karena serangan jantung.[3]
Menurut Yusuf Qardawi, sudah sejak lama Al-Ghazali ingin mendapatkan tempat yang dekat dengan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan kematiannya di Saudi Arabia itu telah mengantarkannya ke pekuburan Baqi, hanya beberapa meter dari makam Rasulullah. Dan menurut Dr. Muhammad Umar Zubair, sahabat Yusuf Qardawi yang sempat menghadiri upacara pemakaman Al-Ghazali di Madinah, letak kuburan Al-Ghazali persis di antara kuburan Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki) dan Imam Nafi’ (ahli hadis).[4]
b.      Karya-karyanya
Buku Muhammad Al-Ghazali yang paling terkenal adalah Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Dalam buku ini, ia menyoroti beberapa hadis yang otentitasnya ia ragukan atau yang tidak dipahami sebagaimana mestinya.
Buku yang membahas tentang ekonomi adalah Al-Islam wa al-Ausa al-Iqtisadiyah yang diterbitkan pada tahun 1947 M. Bukunya yang membahas tentang politik diantaranya adalah Al-Islam wa al-Istibdad al-Siyasi. Ditulis pada tahun 1948. Fiqh al-Sirah adalah salah satu karya Muhammad Al-Ghazali yang terkenal. Melalui buku ini Muhammad Al-Ghazali tampil sebagai pemikir yang ahli zikir, da’i yang menguasai sastra dan bahasa Arab, sekaligus kritikus hadis yang sangat mencintai Rasulullah Saw.
Perhatian Muhammad Al-Ghazali terhadap Al-Qur’an juga diaplikasikan melalui buku yang ditulisnya, diantaranya Nazarat fi al-Qur’an, Kayfa Nata’amul ma’a al-Qur’an, Al-Muhawir al-Khamsah li al-Qur’an al-Karim dan Nahw Tafsir al-Maudui li Suwar al-Qur’an al-Karim.
Selain buku-buku tersebut, masih beberapa buku karyanya yang lain. Tulisan Muhammad Al-Ghazali hampir mencakup seluruh permasalahan umat Islam pada masanya, seperti pemahaman Al-qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, pemurnian aqidah dan pembaharuan hukum, perbaikan ekonomi umat dan reformasi sistem pemerintahan dan lainnya.[5]
B.     Pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis
a.       Kriteria Kesahihan Hadis
1.      Kriteria kesahihan sanad hadis
Menurut Muhammad Al-Ghazali, kesahihan sanad hadis hanya terdiri dari dua syarat, yaitu[6]:
a.       Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut dhabit.
b.      Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. Pada konteks ini perawi disebut ‘adil.
2.      Kriteria keshahihan matan hadis
Muhammad al ghazali menetapkan tujuh kriteria keshahihan hadis[7]:
a.       Matan hadis sesuai alquran
b.      Sejalan dengan matan hadis shahih lainnya
c.       Sejalan dengan fakta sejarah
d.      Redaksi matan  hadis menggunakan bahasa Arab yang baik;
e.       Kandungan matan hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agam islam
f.       Hadis itu tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatnnya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
g.      Hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
C.     Contoh pemahaman Hadis Muhammad al Ghazali
Hadits tentang larangan wanita menjadi pemimpin di riwayatkan oleh Al Bukhari, At Tirmidzi, An Nasai’ dan Ahmad bin Hambal.[8] (Hadits Bukhari no.4073)
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(BUKHARI - 4073) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Menurut Ahmad Al Ghazali, hadis tersebut semestinya dipahami secara kontekstual, yaitu dengan mengetahui latar belakang keluarnya hadis tersebut; antara lain dengan memahami kondisi dan budaya masyarakat Persia dan sistem politik yang dianut ketika itu, sehingga hadis tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diingankan Nabi Muhammad Saw dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.[9]
 Fakta sejarah menunjukan bahwa hadits tersebut diucapkan nabi terkait dengan peristiwa suksesi di persia yang menganut pemerintahan monarki yang berada diambang kehancuran. Sistem monarki tidak mengenal musyawarah, tidak menghormati pendapat yang berlawanan dan tidak terjalinnya hubungan yang seimbang dan sepadan antara rakyat dan penguasa. Oleh karena itu Muhammad Al Ghazali berpendapat, hadits ini secara spesifik ditujukan kepada ratu Kisra di Persia, karena seandainya sistem pemerintahan di Persia, berdasar musyawarah dan seandainya wanita yang menduduki singgahsana kepemimpinan mereka seperti Golda Meir yang memimpin Israel, mungkin komentar Nabi akan berbeda.
Hadits yang demikian juga bertentangan dengan Qur’an surat An Naml ayat 23
ÎoTÎ)Ny`urZor&tøB$#öNßgà6Î=ôJs?ôMuŠÏ?ré&ur`ÏBÈe@à2&äóÓx«$olm;urî¸ötãÒOŠÏàtãÇËÌÈ
23. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita[10]yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Tentang Ratu Bilqis yang memerintah kerajaan Saba’iyah pada masa Nabi Sulaiman. Menurut Muhammad Al Ghazali, untuk menghadapi problem yang demikian itu seharusnya umat Islam kembali kepada pilar-pilar yang menyanggah hubungan pria dan wanita,sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron ayat 195 ‘’Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[11]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Selain itu dalam QS. An Nahl ayat 97 “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[12]dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Demikian juga hadits nabi, tentang kedudukan wanita yang seimbang dengan laki-laki.
Hadits at Tirmidzi no.105 إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Pernyataan Muhammad al Ghazali di atas memberikan isyarat bahwa perempuan yang tidak boleh diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi Muhammad Saw  adalah pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dilihat dari segi budaya setempat. Jadi, hadis diatas tidak dapat dijadikan sebagai dasar penolakan perempuan sebagai pemimpin[13].
Menurut Ahmad Al Ghazali, hadis tentang larangan wanita menjadi pemimpin diriwayatkan oleh Al Bukhari, (Hadits Bukhari no.4073) semestinya dipahami secara kontekstual, yaitu dengan mengetahui latar belakang keluarnya hadis tersebut. Sehingga hadis tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diingankan Nabi Muhammad Saw dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.

IV.             KESIMPULAN
Menurut Muhammad Al-Ghazali, kesahihan sanad hadis hanya terdiri dari dua syarat, yaitu dhabit, ‘adil. Kriteria keshahihan matan hadis Muhammad al ghazali menetapkan tujuh kriteria keshahihan hadis. Diantaranya matan hadis sesuai alquran, Sejalan dengan matan hadis shahih lainnya, sejalan dengan fakta sejarah, Redaksi matan  hadis menggunakan bahasa Arab yang baik, kandungan matan hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agam islam, hadis itu tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatnnya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya), hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, semoga bermanfaat, dan tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran untuk membangun perbaikan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Khaeruman, Badri, Otentitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Teras, 2008.



[1] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 99-100.
[2] Badri Khaeruman, Otentitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 264-265.
[3] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 100.
[4] Badri Khaeruman, Otentitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 270.
[5] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 100-101.
[6] Ibid.h.102
[7] Ibid.103
[8] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras,2008),h. 94
[9] Bustamin, Salam,h. 123
[10] Yaitu ratu Balqis yang memerintah kerajaan Sabaiyah di zaman Nabi Sulaiman.
[11] Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
[12] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman
[13] Bustamin, Salam, 124