Jumat, 14 November 2014

Makalah Paul Ricoeur



Disusun oleh :
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
Fazat Laila (134211029)
Rahmad Ade Setyadi (134211030)



       I.            PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
              Pada dasarnya, hermeneutik adalah memahami apa yang dikatakandengan kembali pada suatu motivasi atau kepada konteks. Dalam hal ini ada tiga garis besar dalam makna hermeneutik. Tiga makna hermeneutik yang mendasar yaitu: 1) Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian. 2) Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti.3) Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain. Tiga  pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan”–interpreting, understanding.
              Dengan demikian hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (misunderstanding to uderstanding).Definisi lain, hermeneutik adalah  metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan. Dalam kajian hermeneutik  terdapat para tokoh yang meggeluti kajian ini, salah satunya adalah Paul Recoeur. Dengan konsepnya, Paul Recoeur mengatakan bahwa “Setiap kata adalah simbol”.Oleh karenanya, kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.Tentu hal ini akan menarik dikaji bagi kita untuk mengetahaui dibalik kata yang tersembunyi. Dengan itu pemakalah ingin membahas sedikit tentang konsep hermenutiknya Paul Recoeur.
b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Paul Ricoeur?
2.      Bagaimana kata-kata dan makna menurut Paul Ricoeur?
3.      Ruang lingkup hermeneutik?
4.      Arti “memahami” menurut Paul Ricoeur?

    II.            PEMBAHASAN
1.      Riwayat Hidup Paul Ricoeur 
              Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan, pada tahun 1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yatim piatu. Di ‘Lycee’ ia berkenalan dengan filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filsuf yang menganut aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 ia memperoleh ‘licence de philosophie’. Pada akhir tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa S-2 di Universitas Sorbonne, dan pada tahun 1935 memperoleh ‘agregation de philosophie’ (keanggotaan atau izin menjadi anggota suatu organisasi dalam bidang filsafat).
              Setelah mengajar di Colmar selama satu tahun, ia dipanggil untuk mengikuti wajib militer (antara 1937-1939). Pada saat mobilisasi, Ricoeur masuk dalam ketentaraan Prancis dan menjadi tahanan perang hingga tahun 1945. Selama ia meringkuk dalam penjara di Jerman, ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Sesudah perang ia menjadi dosen filsafat di College Cevinol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon.
              Pada tahun 1948 Ricoeur menggantikan kedudukan Jean Hyppolite dan mengepalai bidang sejarah filsafat di Universitas Strasbourg. Pada tahun 1950 ia memperoleh gelar “docteur des lettres” (Doktor bidang Kesusastraan) melalui tesisnya yang berjudul Philosophie de la volonte (Filsafat kehendak) yang selanjutnya dijabarkan ke dalam dua volume, yaitu: La Volontaire et I’Involontaire (yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki). Dalam volume ini Ricoer mempergunakan metode fenomenologi untuk membahas dimensi kehendak yang dalam tulisan G. Marcel disebut “incarnate existence”. Volume kedua diberi judul Finitude et Culpabilite (Keterbatasan dan kesalahan) yang pada tahun 1960 diterbitkan dalam dua buah buku dengan masing-masing judul: L’Homme Faillible (Manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa) dan La Symbolique du mal (Simbol dosa atau kejahatan).
              Pada tahun 1956-1957 Ricoeur diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Sorbonne. Namun pada tahun 1966 ia memilih mengajar di Nanterre, perluasan dari universitas Sorbonne, di pinggiran kota Paris. Ia diangat menjadi Dekan di sana pada bulan Maret 1969. Pada tahun 1970 terjadi perubahan situasi di universitas dimana Ricoeur bekerja itu. Mahasiswa berdemonstrasi menduduki dan menguasai universitas sehingga hal ini mengundang intervensi pihak kepolisian. Karena situasi yang tidak menguntungkan ini, Ricoeur meletakkan jabatannya sebagai dekan, kemudian ia pindah ke Universitas Louvain atau Leuven di Belgia. Namun pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus menjadi profesor luar biasa pada Universitas Chicago. Pada waktu yang bersamaan pula ia menjadi direktur pada “Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques” (Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutik) di Paris. Dalam periode ini Recoeur banyak menggeluti masalah-masalah filsafat bahasa dan masuk ke dalam pada dialog tentang hermeneutik. Tahun 1975 ia menerbitkan bukunya yang berjudul La Metaphore Vive yang banyak mengupas tentang tata aturan metafora, sehingga ‘pengoperasian’ metafora itu menjadi hidup.[1]
2.      Kata-kata dan Makna
              Keseluruhan konsep mengenai simbol dan kata-kata tidak perlu tampil seakan-akan penuh dengan misteri. Sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya kecuali kata-kata onomatopoik. Lebih jauh lagi, orang yang berbicara membentuk pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang konteks hidup dan sejarah orang tersebut. Sebuah kata bisa memiliki konotasi yang berbeda, tergantung pada pembicaraannya.Bahkan meskipun benar juga bahwa makna dapat diturunkan dari konteks yang terdapat di dalam sebuah kalimat, namun konteks juga bermacam-macam menurut zamannya. Istilah-istilah mempunyai makna ganda, dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat.
              Metode yang digunakan dalam kajian hermenutiknya Ricoeur untuk mengalilis sebauh “teks” adalah dengan pendekatan fenomenologi, struktualisme dan psikoanalisis.[2]Menurut Ricoeur, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik. Namun, kritik yang kita lakukan itu membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dari gagasan-gagasan kita dalam bahasa yang diungkapkan dalam struktur itu juga sudah kita beri warna. Oleh karena itu, setiap orang yang mengajukan kritik sebenarnya sudah membawa serta anggapan-anggapan, yang oleh Gadamer dikatakan tidak sepenuhnya kabur atau bahkan menipu. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiawa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heideger disebut Vorhabe (apa yang ia miliki), Vorsich (apa yang ia lihat), dan Vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Ini semua menandakan bahwa kita sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari prasangka.[3]
3.      Ruang lingkup hermeneutik
              Bila hermeneutik didefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol – simbol, kiranya terlalu sempit.Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan “perhatian kepada teks”.Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu luas justru memiliki intensitas.
              Mengenai tugas hermeneutik,Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkanhalnya teks itu muncul ke permukaan.
              Dalam hal ini kita sebaiknya mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang hermeneutik, yaitu “Teori pengoprasian pemahaman dalam hubunganya dengan interpretasi terhadap teks.” Apa yang kita ucapkan atau kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricoeur menyebutkan karakteristik ini dengan istilah “polisemi”, yaitu ciri khas yang menyebabkan kata – kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks yang bersangkutan.
              Menurut Ricoeur, manusia pada dasarnya merupakan bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.Melalui hermeneutik, segala problem yang terdapat di dalam filsafat bahasa dapat dijawab, yaitu melalui interpretasi.Bahasa adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain.Bahasa adalah tempat bertemunya analisis logika,fenomenologi, eksistensialisme,tafsir kitab suci, dan hermeneutik, bahkan psikoanalisa.Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol.Kita mengungkapkan gagasan – gagasan, emosi, kesusastraan, filsafat semuanya melalui bahasa.
              Masyarakat atau anggota masyarakat, apapun kedudukan mereka, tidak pernah mempergunakan bahasa batin untuk Matematika. Mereka membangun sejarah pribadi dan kehidupanya di dalam bahasa, sehingga ekspresi atau ungkapan jika mereka gunakan akan mempunyai arti atau makna yang berbeda- beda. Oleh karena itu, penafsir bertugas untuk mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa.
              Setiap kali kita membaca, sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi ataupun aliran yang hidup dari macam – macam gagasan.Walaupun demikian, sebuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain.
              Penjelasan structural cenderung untuk bersifat objektif, sedang pemahaman hermeneutik memberi kita kesan subjektif. Jadi, di sini kita dapat dikotomi  antara objektifitas dan subjektifitas yang menimbulkan problem.Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi”, baik dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis, serta untuk melakukan “rekontekstualisasi” secara berbeda di dalam tindakan membaca. Dikotomi antara “penjelasan” dan “pamahaman” itu tajam, yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaanya.
              Dalam hal ini tugas hermeneutik menjadi sangat berat, sebab hermeneutik harus membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamanya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek – aspek subjektif dan objektif.
              Otonomi teks ada tiga macam: instensi atau maksud pengarang, situasi kultural, dan kondisi social pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.Dengan membuka diri terhadap teks, ini berarti kita mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan cara yang objektif.[4]Dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersitegang dan bersikap seakan – akan menghadapi teks yang beku, tetapi kita harus dapat “membaca ke dalam teks itu”. Kita juga harus mempunyai konsep – konsep yang kita ambil dari pengalaman – pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatanya, sebab konsep – konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks, sekalipun dalam intepretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita.Lain halnya dengan teks – teks sejarah. Kisah – kisah perang diponegoro dan para pahlawan bangsa lainya yang masih kita rasakan up to date sampai saat ini juga. Pembaca kisah membuang hal – hal yang dianggap tidak relevan lagi untuk zaman sekarang ini.Namun kisah tersebut sampai sekarang masih dapat menarik untuk dibaca, dan dapat diterapkan untuk zaman itu.
              Contoh, kitab suci injil menyajikan contoh teks yang berasal dari zaman yang berbeda dengan zaman kita, namun masih juga kita rasakan relevan atau dapat kita terapkan pada semua hikayat dan peristiwa pada masa mendatang. Jika injil tidak dapat diterapkan pada zaman kita ini, maka tidak akan mungkin kita sampai saat ini masih mendiskusikanya. Injil seringkali kita bayangkan sebagai sebuah “kitab yang hidup”, yang isinya dapat dinikmati oleh setiap generasi. Pembaca injil tidak “membaca ke dalam” teks, melainkan ia merelakan dirinya “dirasuki” injil. Inilah kiranya yang dimaksudkan Ricoeur dengan pernyataanya: “memahami bukanlah berarti memproyeksikanya diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya”. Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada di tengah – tengah teks yang (ign madya) dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks untuk sekedar tut wuri saja.[5]
4.      Arti “memahami”
              Setiap hermeneutik membuat pembedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Namun setiap hermeneutik juga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga seakan – akan ketiganya saling menyusupi satu sama lain. Tentang sirkularitas tersebut, Ricoeur mengatakan: “Engkau harus memahami untuk percaya dan percaya untuk memahami”. Namun ia juga mengatakan bahwa lingkaran tersebut hanya semu saja, sebab tidak ada satupun hermeneutik yang pada kenyataanya mau mendekatkan diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak mengahayati sendri suasana makna yang ia cari. Hermeneutik harus menggumuli interpretasinya sendiri, ia harus mulai dengan pengertian yang seakan – akan “masih mentah”,sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi.
              Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol – simbol ke gagasan tentang “berfikir dari” simbol – simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol.Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta “penggalian” yang cermat atas makna.Langkah ketiga adalah langkah yang benar – benar filosofis, yang berfikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
              Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah – langkah pemahaman bahasa yaitu: semantik, refleksif serta eksistensial atau ontologism. Atas dasar langkah – langkah ini, Ricoeur menyatakan bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah “cara berada” (mode of being)atau cara “menjadi”. Pernyataan ini tampaknya sulit untuk dimengerti.Pemahaman hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan atau Erkenntnistheorie. Kita tidak dapat dengan sewenang–wenang mengetengahkan pengertian tentang pemahaman pada tingkat ontologism, sebab cara pemahaman kita selalu mendapatkan “bantuan” dari sketsa – sketsa, contoh – contoh, peninggalan – peninggalan purbakala, salinan atau fotokopi. Bahkan Ricoeur sendiri menyatakan bahwa hubungan antara hidup dan pengalaman – pengalamannya boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua arah antara manusia dengan alam dan sejarah. Jika demikian, bagaimana Ricoeur bisa mengatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara “menjadi” dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan.
              Sebenarnya dengan pendapatnya itu Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa hermeneutikadalah sebuah “metode” yang dapat bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains.Ricoeur juga mempertanyakan metode yang dipergunakan Dilthey dalam Geisteswissensgaften-nya[6], yaitu hermeneutik, yang dibedakanya dengan metode yang terdapat pada Naturwissenschaften, Ricoeur sendiri tidak benar – benar memperlakukan hermeneutik sebagai metode.Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif, kaku, dan terstruktur yang terdapat dalam ilmu alamiah. Sebab pemahaman adalah salah satu aspek dari “proyeksi Dasein” (proyeksi manusia seutuhnya)dan keterbukaanya terhadap being.Untuk mempermudah pemahaman tentang pengejawantahan being, kita ambil contoh misalnya: manusia kita pahami sebagai Dasein atau manusia seutuhnya, artinya kita memandang manusia dari segala aspek yang ia miliki, baik sejarah, asal usul, cita– cita, gaya, penampilan, kejelekan, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi “khas”. Jadi kita memahami manusia sebagaimana ia “menjadi”.
              Kebenaran untuk manusia autentikatau Dasein, seperti dalam istilah Heidegger, tidak dapat diperlakukan sebagai kebenaran ilmiah. Jika Dasein dianggap sebagai suatu “proyeksi”-seakan – akan terlempar ke depan dirinya sendiri – maka manusia “diberi” sifat terbuka terhadap keberadaanya sendiri. Jadi terdapat rasio satu banding satu tentang kebenaran dan makna di antara Dasein dan being, tidak terstruktur, tidak dapat dibuktikan, fleksibel dan personal. Ini berarti bahwa pada tingkat pemahaman yang ketiga, sesorang akan berada pada tingkat eksistensial atau ontologism, atau pada tingkat being itu sendiri.
              Ada sejenis pemahaman lain, yaitu yang datangnya dari penderitaan, yang dikemukakan oleh Karl Jaspers. Melalui penderitaan kita sering memahami sesuatu, yang kita seakan – akan terpelanting untuk memahami pribadi manusia. Ini merupakan tingkat pemahaman yang tertinggi, yaitu tingkat eksistensial atau ontologis.
              Perbedaan antara seorang pakar bidang sains dan seorang hermeneut ialah: bila seorang pakar sains menerangkan, maka hanya penafsir ilmu – ilmu kemanusiaan yang memahami. Artinya para pakar sains berhenti pada kasus yang ia terangkan sebagai suatu fakta atau peristiwa. Biasanya ia tergantung pada diagram ilmiah yang dipergunakanya untuk memberikan penjelasanya. Tetapi hermeneutik mampu memahami sesuatu tanpa harus ada penjelasan yangterikat pada suatu diagram tertentu. Oleh karena itulah “metode” yang ia pergunakan adalah interpretasi.Interpretasi selalu bersifat open-ended.Jika kita mendapatkan titik akhir sebuah interpretasi, ini berarti pemerkosaanterhadap interpretasi.
              Sepakat dengan pandangan Gadamer, Ricoeur juga berbicara mengenai Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein atau kesadaran yang diarahkan pada akibat – akibat sejarah. Namun dalam uraianya, ia menegaskan bahwa konsep itu harus dipertentangkan dengan konsep atau pengertian tentang “distansi sejarah”, sebab konsep yang terkahir ini berbau metodologis. Hal ini menunjukan kepada kita tema pertama dari empat temayang diketengahkan oleh Ricoeur, yaitu bahwa tidak ada titik nol dari mana kritik yang tuntas dapat mulai dilakukan.Meskipun sesorang menempatkan dirinya pada distansi tertentu, namun “akibat” atau hasil penelusuran sejarah tidak dapat lepas dari pengamatan kesadaran penafsir.
              Tema yang kedua ialah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja.Tema kedua ini menunjukan pandangan ekstrem yang lain sesudah tema yang pertama di atas. Dalam filsafat Ricoeur, tempat yang layak untuk seorang penafsir adalah di tengah – tengah kedua eksterm tersebut.
              Tema ketiga: jika tidak ada pandangan yang menyeluruh, maka juga tidak akan situasi yang secara mutlak membatasi kita. Sebab, jika ada situasi maka ada cakrawalayang dapat menyempit atau meluas.Setiap kejadian atau peristiwa mempunyai latar belakang atau cakrawala karena setiap fakta atau peristiwa selalu tersituasi.Maka juga selalu ada goncangan antara peristiwa yang tersituasi dengan cakrawalanya.Interpretasi harus selalu memandang kedua hal itu sebagai hal yang korelatif atau berinteraksi.
              Tema keempat ialah perpaduan antarcakrawala, Ricoeur mengatakan bahwa tidak ada satu cakrawalapun yang bersifat tertutup sejauh masih mungkin menempatkan seseorang pada pandangan yang lain dalam kebudayaan yang lain pula. Mungkin pandangan Ricoeur ini mirip dengan pandangan Gadamer.Pemahaman adalah perpaduan atarcakrawala.Hermeneutik harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalnya dalam konteks yang semestinya.Ia harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahamanya dan mana yang seharusnya disingkirkan dari antar konsep – konsepnya yang popular atau yang hanya hayalan saja. Penafsir harus waspada terhadap berbagai macam prasangka ataupun pendewaan terhadap akal pikiran.[7]



 III.            KESIMPULAN
              Tujuan utama dari Hermeneutik, menurut Paul Ricoeur, adalah pemahaman.Hal itu disebabkan karena hermeneutik didasarkan pada premis bahwa teks-teks mengatakan sesuatu tidak hanya mengenai dirinya sendiri melainkan juga mengenai dunia yang lebih luas. Dengan demikian, dengan membaca teks melalui jalan hermeneutik, kita akan mendapatkan pemahaman yang jauh lebih luas dan lebih besar mengenai dunia, tidak hanya mendapatkan makna-makna secara literalnya saja. Yang dimaksud Ricoeur untuk sampai pada level pemahaman, yaitu bahwa ‘Memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya’. Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada di tengah-tengah teks, dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks saja.

 IV.            PENUTUP
              Demikianlah makalah yang mampu kami paparkan, tentulah banyak sekali kekurangan atas makalah yang kami buat. Dengan bantuan partisipasi pemikiran dari kawan-kawan semoga dapat sempurna kekurangan tersebut.Kritik dan saran selalu terbuka bagi kami.
                                                    

DAFTAR PUSTAKA
Sumaryono, E, HermeneutikSebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Poespoprodjo, W, Interpretasi, Semarang:Remadja Rk Karya CV, 2010.
Al-Mirzanah, Syafa’atun, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader, Yokyakarta:Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011.
file:///C:/Users/Win32/Downloads/Selamat%20Datang%20di%20Dunia%20Amanda%20%20MAKALAH%20HERMENEUTIK%20PAUL%20RICOEUR.htm.
                                                                                                          


[1]E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yokyakarta: KANISIUS. 1999), hal. 103-104.
[2]file:///C:/Users/Win32/Downloads/Selamat%20Datang%20di%20Dunia%20Amanda%20%20MAKALAH%20HERMENEUTIK%20PAUL%20RICOEUR.htm.
[3]E. Sumaryono. Op.cit. h. 105-107.
[4]W.Poespoprodjo, Interpretasi, (Semarang:Remadja Rk Karya CV, 2010), h. 158-160.
                                                                                         
[5]E. Sumaryono. Op.cit. h. 110.
[6]Syafa’atun Al-Mirzanah, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader, (Yokyakarta:Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 205-206.

[7]E. Sumaryono. Op.cit. h. 110-114.

1 komentar:

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)