Miftahun Niswati (134211016)
Bahri Ilmi (134211023)
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seluruh manusia, itu pasti tidak terlepas dari hukum Syar’i.
Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia muslim tentunya perlu mempelajari dan memahami rukun-rukun
hukum tersebut, yang terdiri dari beberapa unsur diantaranya yaitu pembuat
hukum (Al Hakim), objek hukum (Mahkum
Fih), dan subjek hukum (Mahkum Alaih). Agar kita mengetahui dan memahami
pembatasan-pembatasan hukum Syar’i dalam Islam. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai Al-Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih. Mulai dari pengertian,
syarat-syarat, macam-macam dan pembagiannya.
II.
Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan
Al-Hakim?
B. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Fih, dan apa syarat-syaratnya?
C. Apa yang dimaksud dengan Mahkum
Alaih, serta apa syarat-syarat?
III.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian Al-Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih
2. Mengetahui macam-macam hukum Islam
3. Mengetahui perbedaan Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembuat Hukum (Al Hakim)
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa yang menjadi sumber
hukum bagi semua perbuatan mukalaf (Islam, baligh, dan berakal) adalah Allah
SWT. Baik hukum ini langsung secara jelas terdapat dalam nas yang telah
diwahyukan oleh Allah SWT atau dengan cara Ia memberi petunjuk kepada mujtahid
untuk mengeluarkan hukum-hukum mengenai perbuatan mukalaf dari dalil-dalil yang
telah disyariatkan untuk diistinbatkan hukumnya.
Dengan demikian, para ulama bersepakat mendefinisikan hukum syara’
sebagai berikut:
خطا
ب الشارع المتعلق بأ فعا ل المكلفين بالإ قتضاء أو الخيير أو الو ضع
Artinya: “ Khitab
Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukalaf berupa tuntutan atau
suruhan untuk memilih, atau berupa ketetapan.”
Dari definisi di atas jelaslah bahwa yang menjadi hakim (syar’i)
adalah Allah SWT. Maka tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT. Atas dasar itu,
sehingga semua umat islam sepakat bahwa yang menjadi hakim (sumber hukum) dalam
Islam adalah Allah SWT. Tidak ada hukum kecuali berasal dari-Nya. Hal ini di
tegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an diantaranya:
... إن الحكم الا لله يقص ا لحق وهو خير
الفاصلين
Artinya: … menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Ia menerangkan
yang sebenarnya dan Ia pemberi keputusan yang baik (QS. al-An’am: 57)
Dan dalam ayat lain:
... و من لم يحكم بما أنز ل
الله فأ و لـإك هم الفسقو ن
Artinya: … siapa yang menetapkan hukum tidak berdasar kepada hukum
Allah mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Maidah: 47)
1.
Cara
Mengetahui Hukum
Terdapat pandangan yang berbeda-beda di kalangan para ulama tentang
bagaimana hukum Allah itu dapat di ketahui. Berikut ini akan dikemukakan tiga
aliran yang memiliki pandangan masing-masing tentang cara mengetahui dan
mendapatkan hukum Allah SWT.
a)
Madzhab
Asy’ariyah
Yaitu para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari. Menurut madzhab ini akal
tidak dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan mukalaf kecuali melalui
perantaraan para Rosul-Nya dan kitab-Nya. Karena menurut mereka sesuatu yang
dipandang oleh akal itu baik maka baik juga menurut Allah dan mendapat pahala
orang yang mengerjakannya. Dan sesuatu yang dipandang jelek oleh akal, ia jelek
juga menurut Allah dan mendapat siksa orang yang mengerjakannya.”Yang dijadikan
dasar oleh madzhab ini adalah syara’. Bahwa perbuatan baik dan jelek seseorang
itu berdasarkan petunjuk syara’. Dengan ketentuan berupa tuntutan untuk
melakukannya bagi perbuatan baik dan tuntutan meninggalkannya bagi perbuatan
jelek.
b)
Madzhab
Mu’tazilah
Madzhab ini adalah para pengikut Washil bin Atha, seorang pendiri
madzhab Mu’tazilah. Menurut madzhab ini akal dapat mengetahui hukum Allah
tentang perbuatan mukalaf dengan sendirinya tanpa perlu adanya utusan Allah
atau Rosul dan wahyu. Karena setiap perbuatan seseorang mengandung sifat dan
pengaruh yang dapat diukur oleh akal apakah perbuatan ini membahayakan atau
memberi manfaat. Menurut Mu’tazilah bahwa hukum Allah mengenai perbuatan
mukalaf merupakan sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia berupa
keuntungan dan bahaya. Jadi Allah menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu
yang akan membawa keuntungan bagi mereka menurut jangkauan akalnya. Atau
meninggalkan sesuatu yang akan menimbulkan bahaya juga menurut jangkauan
akalnya. Tetapi madzhab ini juga mengakui ada sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh akal seperti syukur atas nikmat, jujur memenuhi janji adalah
perbuatan baik dan lawan dari itu semua adalah jelek.
c)
Madzhab
al-Maturidiyah
Yaitu para pengikut Abu Mansur al-Maturidi. Madzhab ini dinilai
lebih moderat dan netral ( kalau tidak dikatakan dua madzhab sebelumnya
fanatik). Madzhab ini berusaha untuk mencari titik temu antara dua madzhab
sebelumnya. Madzhab ini berpendapat bahwa perbuatan mukalaf mempunyai
kekhususan dan pengaruh yang menghendaki kebaikan dan kejelekan. Berdasarkan
kekhususan dan pengaruh itu akal dapat menjatuhkan keputusan bahwa perbuatan
itu baik dan jelek. Tetapi menurut Maturidiyah bahwa hukum Allah tentang
perbuatan seseorang tidak mesti selalu sesuai dengan jangkauan akal manusia
berupa kebaikan dan kejelekannya. Karena terkadang akal salah. Dan ketika akal tidak mengetahui hukum
sesuatu, maka tidak ada jalan untuk mengetahui hukum perbuatan itu kecuali
melalui syariat yang dibawa oleh Rosul. Jadi kalau dianalisi, paham madzhab
Maturidiyah ini ada kesamaannya dengan Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan juga ada pertentangannya
dengan keduanya.[1]
B. Mahkum Fih ( Objek Hukum )
a.
Pengertian Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah
perbuatan mukalaf yang menjadi obyek hukum syara’. Mahkum fih ialah pekerjaan
yang harus dilaksanakan mukalaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan menurut ulama
ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Sebagai contoh firman Allah dalam surat al- baqarah 43 yang berbunyi:
وأقيموا الصلاة وأتوالزكاةواركعوامع الراكعين
Artinya:”Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku”
Ayat ini berkaitan
dengan perbuatan mukallaf yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat untuk
berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Syarat Mahkum Fih
Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, maka harus
memenuhi tiga syarat:
1.
Perbuatan itu haruslah
diketahui oleh mukalaf dengan pengetahuan yang sempurna, sehingga mukalaf
tersebut mampu untuk melaksanakannya sebagaimana dituntut. Berdasarkan hal ini,
maka nash-nash al-Qur’an yang mujmal (yang masih global atau belum dijelaskan
maksudnya), tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali setelah adanya
bayan (penjelasan) dari nash tersebut.
Contoh:
وأقيم الصلاة...
Artinya: “Dan
dirikanlah shalat”
Ayat tersebut merupakan
ayat yang mujmal (masih global) karena masih perlu penjelasan lagi. Dan
penjelasan dari ayat tersebut yaitu penjelasan hadits nabi mengenai
rukun-rukun, syarat-syarat, dan cara pelaksanaannya. Rasulullah menjelaskan
kemujmalan ayat ini dan berkata:
صلوا كما
رأيتموني أصلى
Artinya:” lakukanlah
shalat sebagaimana kamu melihatku melaksanakan shalat”
2. Diketahui secara jelas
bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau
orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalaf.
3. Perbuatan yang
diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf
sesuai dengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar hukum itu
dapat ditaati. Oleh karena itu, tidak ada beban yang diperintahkan oleh
al-Qur’an untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan
manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil
(diluar kemampuan) mukalaf.
Contohnya: perintah untuk
terbang seperti burung.
Syarat-syarat ini
bercabang menjadi dua hal :
1. Bahwasannya secara syara’
pentaklifan terhadap sesuatu yang mustahil itu tidak sah, seperti juga mustahil
menurut akal. Contohnya, diwajibkan dan diharamkannya suatu perkara dalam satu
waktu, ataupun mustahil karena sesuatu yang lainnya. Contohnya, seperti manusia
terbang di udara tanpa adanya alat bantu apapun seperti pesawat dan lain
sebagainya.
2. Bahwasannya tidak sah menurut syara’,
mentaklif mukalaf supaya orang lain melaksanakan suatu perbuatan ataupun
meninggalkannya. Karena melakukan perbuatan orang lain dan meninggalkannya itu
tidak mungkin baginya. Contohnya, seseorang puasa untuk orang lain, ataupun
seseorang melaksanakan shalat untuk orang lain.[2]
C. Mahkum Alaih (Subjek
Hukum)
a.
Pengertian Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan mahkum alaihi ialah mukalaf yang layak
mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan
hukum syariat.
b.
Syarat Mahkum Alaih
Seseorang dikatakan mukallaf
jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas al-Qur’an atau
sunah, baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti
hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan
kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang
yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.
2. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang
dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk menerima perintah.
Keadaan manusia dihubungkan
dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dapat
dikelompokan menjadi dua:
1. Tidak sempurna, artinya
dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajiban. Contoh: janin yang ada dalam perut ibu. Baginya ada beberapa hak. Ia berhak
menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat tetapi tidak mampu melaksanakan
kewajiban.
2. Secara sempurna, artinya
apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak melakukan kewajiban yaitu
orang-orang yang sudah dewasa (mukalaf).
Ulama Ushul Fiqh membagi ahli (kelayakan) menjadi dua:
a) Ahliyatul Wujud (Ahli
Wajib)
Yaitu kelayakan seseorang untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban.
Kelayakan inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kekhususan yang ada
pada manusia ini oleh para fuqaha disebut al-zimmah, yaitu sifat naluri
manusia untuk menerima hak orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk
orang lain.
Ahliyatul wujub cakupannya bersifat menyeluruh untuk semua jenis manusia tanpa memandang
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau sudah baligh, unya akal atau gila,
sehat atau sakit. Jadi, setiap manusia yang mana saja tanpa terkecuali
mempunyai kelayakan untuk menerima hak dan kewajiban. Tidak ada manusia yang
lepas dari kelayakan itu. Karena ahliyatul wujub itu dipandang sebagai sifat
kemanusiaan. Dengan kata yang lebih tegas Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang diperuntukkan untuk manusia dari
mulai penciptaannya sampai kepada kematian.
Abdul Wahab Khallaf membagi ahliyatul wujub menjadi dua
macam:
a. Ahliyatu al-wujub
al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak
layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya. Contoh pertama adalah janin
yang berada dalam perut ibunya, janin ini berhak mendapatkan warisan, wasiat,
dan wakaf akan tetapi tidak dapat dibebani kewajiban pada dirinya terhadap
orang lain seperti memberi nafkah, memberi hibah, dan sebagainya. Adapun contoh
yang kedua adalah mayat yang
meninggalkan hutang.
b. Ahliyatu al-wujub
al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk
menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak
lahir, pada masa kanak-kanaknya, tamyiz, dan setelah baligh. Singkat kata
ahliyatul wujub kamilah selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia secara
menyeluruh.
b) Ahliyatul Ada (Ahli
Melaksanakan)
Yaitu kelayakan mukalaf untuk dapat dianggap baik ucapan dan perbuatannya
menurut syara’. Contoh, apabila mukalaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka
semua itu bisa bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan jika
mukalfa melakukan tindakan pidana, maka ia harus dihukum sesuai dengan
pelanggarannya itu.
Keadaan manusia jika dihubungkan kepada ahliyatul ada’. Maka dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
a. Tidak mempunyai keahlian
sama sekali. Maksudnya ialah orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk melaksanakan hukum seperti anak-anak yang belum dewasa atau kehilangan
kemampuan seperti orang gila. Maka perkataan dan perbuatan anak dan orang gila
itu tidak dianggap secara hukum. Tetapi jika anak kecil atau orang gila itu
berbuat pidana terhadap jiwa atau harta, maka ia harus diberi hukuman secara
harta tidak secara fisik. Maka jika orang gila membunuh hukumannya membayar
fidyah (denda) tidak wajib di-qishas.
b. Tidak sempurna keahliannya
yaitu anak yang masih remaja sebelum dia baligh. Termasuk dalam kelompok ini
pula orang yang kurang akal. Karena orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya
dan tidak kehilangan akal. Tetapi dia lemah akalnya. Maka orang-orang semacam
ini dianggap sah perbuatannya yang dipandang berguna baginya seperti menerima
hibah dan sedekah.
c. Sempurna keahliannya.
Yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa. Maka keahlian melaksanakan hak dan
kewajibannya dianggap sempurna dengan kedewasaan dan kematangan berfikir.
c) Penghalang (Awaridh) dan
Pembagiannya
Yang dimaksud dengan penghalang keahlian disini ialah keadaan yang membuat
mukallaf tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan
kepadanya. Para ulama ushul menggolongkan penghalang keahlian ini menjadi dua
kelompok:
a.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak dapat diusahakan oleh
manusia. Ia lahir dengan sendirinya tanpa dikehendaki oleh manusia itu sendiri
seperti: gila, kurang akal, lupa, ketiduran dan pingsan. Orang-orang yang
terkena penghalang seperti tersebut maka ia dihukumi dengan orang yang tidak
memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan kewajiban-kewajiban.
b.
Penghalang kasbi, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan
manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang dan boros.[3]
BAB III
PENUTUP
IV.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat hukum
(Al-Hakim) menurut pendapat para ulama, yaitu
khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukalaf, berupa
tuntutan atau suruhan untuk memilih atau berupa ketetapan. Objek hukum (Mahkum
Fih), yaitu mukalaf
yang menjadi obyek hukum syara’, Syarat-syarat Mahkum Fih:
·
Perbuatan itu haruslah
diketahui oleh mukalaf dengan pengetahuan yang sempurna.
·
Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang
untuk memerintah.
·
Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau
ditinggalkan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya.
Subjek hukum
(Mahkum Alaih), yaitu mukalaf yang layak mendapatkan khitab dari
Allah dimana perbuatannya berhubungan
dengan hukum syariat.
Syarat-syarat Mahkum
Alaih:
·
Mukallaf dapat memahami dalil taklif
baik itu berupa nas-nas al-Qur’an atau sunah, baik secara langsung maupun
melalui perantara.
·
Mukalaf adalah orang yang ahli
dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
V.
Saran
1. Agar para pembaca bisa
mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya
sehingga dapat diambil pelajaran, kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata.
2. Semoga para pembaca dapat
mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)