Disusun oleh :
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
Fazat Laila (134211029)
Rahmad Ade Setyadi (134211030)
I.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada dasarnya, hermeneutik adalah memahami apa yang
dikatakandengan kembali pada suatu motivasi atau kepada konteks. Dalam hal ini
ada tiga garis besar dalam makna hermeneutik. Tiga makna hermeneutik yang
mendasar yaitu: 1) Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran
melalui kata-kata sebagai medium penyampaian. 2) Menjelaskan secara rasional
sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti.3) Menerjemahkan
suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain. Tiga pengertian tersebut terangkum dalam
pengertian ”menafsirkan”–interpreting, understanding.
Dengan demikian hermeneutika merupakan proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (misunderstanding
to uderstanding).Definisi lain, hermeneutik
adalah metode atau cara untuk
menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudia di bawa ke masa depan. Dalam kajian hermeneutik terdapat para tokoh yang meggeluti kajian ini, salah satunya
adalah Paul Recoeur. Dengan konsepnya, Paul Recoeur mengatakan bahwa “Setiap
kata adalah simbol”.Oleh karenanya, kata-kata penuh dengan makna dan intensi
yang tersembunyi.Tentu hal ini akan menarik dikaji bagi kita untuk mengetahaui
dibalik kata yang tersembunyi. Dengan itu pemakalah ingin membahas sedikit tentang konsep
hermenutiknya Paul Recoeur.
b. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Paul Ricoeur?
2.
Bagaimana kata-kata dan makna menurut Paul
Ricoeur?
3.
Ruang
lingkup hermeneutik?
4.
Arti
“memahami” menurut Paul Ricoeur?
II.
PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup Paul Ricoeur
Paul Ricoeur lahir di
Valence, Prancis Selatan, pada tahun 1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan
yang saleh dan dipandang sebagai cendikiawan Protestan yang terkemuka di
Prancis. Ia dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yatim piatu. Di ‘Lycee’
ia berkenalan dengan filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang
filsuf yang menganut aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 ia memperoleh
‘licence de philosophie’. Pada akhir tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa
S-2 di Universitas Sorbonne, dan pada tahun 1935 memperoleh ‘agregation de
philosophie’ (keanggotaan atau izin menjadi anggota suatu organisasi dalam
bidang filsafat).
Setelah mengajar di
Colmar selama satu tahun, ia dipanggil untuk mengikuti wajib militer (antara
1937-1939). Pada saat mobilisasi, Ricoeur masuk dalam ketentaraan Prancis dan
menjadi tahanan perang hingga tahun 1945. Selama ia meringkuk dalam penjara di
Jerman, ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Sesudah
perang ia menjadi dosen filsafat di College Cevinol, pusat Protestan
internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon.
Pada tahun 1948 Ricoeur
menggantikan kedudukan Jean Hyppolite dan mengepalai bidang sejarah filsafat di
Universitas Strasbourg. Pada tahun 1950 ia memperoleh gelar “docteur des
lettres” (Doktor bidang Kesusastraan) melalui tesisnya yang berjudul Philosophie
de la volonte (Filsafat kehendak) yang selanjutnya dijabarkan ke dalam dua
volume, yaitu: La Volontaire et I’Involontaire (yang dikehendaki dan
yang tidak dikehendaki). Dalam volume ini Ricoer mempergunakan metode
fenomenologi untuk membahas dimensi kehendak yang dalam tulisan G. Marcel
disebut “incarnate existence”. Volume kedua diberi judul Finitude et
Culpabilite (Keterbatasan dan kesalahan) yang pada tahun 1960 diterbitkan
dalam dua buah buku dengan masing-masing judul: L’Homme Faillible
(Manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa) dan La Symbolique du mal
(Simbol dosa atau kejahatan).
Pada tahun 1956-1957
Ricoeur diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Sorbonne. Namun pada
tahun 1966 ia memilih mengajar di Nanterre, perluasan dari universitas
Sorbonne, di pinggiran kota Paris. Ia diangat menjadi Dekan di sana pada bulan
Maret 1969. Pada tahun 1970 terjadi perubahan situasi di universitas dimana
Ricoeur bekerja itu. Mahasiswa berdemonstrasi menduduki dan menguasai
universitas sehingga hal ini mengundang intervensi pihak kepolisian. Karena
situasi yang tidak menguntungkan ini, Ricoeur meletakkan jabatannya sebagai
dekan, kemudian ia pindah ke Universitas Louvain atau Leuven di Belgia. Namun
pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus menjadi profesor luar
biasa pada Universitas Chicago. Pada waktu yang bersamaan pula ia menjadi
direktur pada “Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques”
(Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutik) di Paris. Dalam periode ini Recoeur
banyak menggeluti masalah-masalah filsafat bahasa dan masuk ke dalam pada
dialog tentang hermeneutik. Tahun 1975 ia menerbitkan bukunya yang berjudul La
Metaphore Vive yang banyak mengupas tentang tata aturan metafora, sehingga
‘pengoperasian’ metafora itu menjadi hidup.[1]
2. Kata-kata dan Makna
Keseluruhan konsep
mengenai simbol dan kata-kata tidak perlu tampil seakan-akan penuh dengan
misteri. Sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab keduanya sama-sama
menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional
dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau
pendengarnya kecuali kata-kata onomatopoik. Lebih jauh lagi, orang yang
berbicara membentuk pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang
konteks hidup dan sejarah orang tersebut. Sebuah kata bisa memiliki konotasi
yang berbeda, tergantung pada pembicaraannya.Bahkan meskipun benar juga bahwa
makna dapat diturunkan dari konteks yang terdapat di dalam sebuah kalimat,
namun konteks juga bermacam-macam menurut zamannya. Istilah-istilah mempunyai
makna ganda, dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat.
Metode yang
digunakan dalam kajian hermenutiknya Ricoeur untuk mengalilis sebauh “teks”
adalah dengan pendekatan fenomenologi, struktualisme dan psikoanalisis.[2]Menurut Ricoeur, salah satu sasaran yang
hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan
distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat
membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat
jarak dengan objek kritik. Namun, kritik yang kita lakukan itu membawa juga
struktur-struktur yang sudah jadi dari gagasan-gagasan kita dalam bahasa yang
diungkapkan dalam struktur itu juga sudah kita beri warna. Oleh karena itu,
setiap orang yang mengajukan kritik sebenarnya sudah membawa serta
anggapan-anggapan, yang oleh Gadamer dikatakan tidak sepenuhnya kabur atau
bahkan menipu. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap
peristiwa-peristiawa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang
sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heideger disebut Vorhabe
(apa yang ia miliki), Vorsich (apa yang ia lihat), dan Vorgriff
(apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Ini semua menandakan bahwa kita
sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari prasangka.[3]
3.
Ruang
lingkup hermeneutik
Bila
hermeneutik didefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol – simbol,
kiranya terlalu sempit.Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan
menambahkan “perhatian kepada teks”.Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang
tidak terlalu luas justru memiliki intensitas.
Mengenai
tugas hermeneutik,Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik ialah di satu
pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah
teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkanhalnya teks itu muncul ke
permukaan.
Dalam
hal ini kita sebaiknya mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang
hermeneutik, yaitu “Teori pengoprasian pemahaman dalam hubunganya dengan interpretasi
terhadap teks.” Apa yang kita ucapkan atau kita tulis mempunyai makna lebih dari satu
bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricoeur menyebutkan
karakteristik ini dengan istilah “polisemi”, yaitu ciri khas yang
menyebabkan kata – kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam
konteks yang bersangkutan.
Menurut Ricoeur, manusia
pada dasarnya merupakan bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama
bagi semua pengalaman manusia.Melalui hermeneutik, segala problem yang terdapat
di dalam filsafat bahasa dapat dijawab, yaitu melalui interpretasi.Bahasa
adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama
lain.Bahasa adalah tempat bertemunya analisis logika,fenomenologi,
eksistensialisme,tafsir kitab suci, dan hermeneutik, bahkan psikoanalisa.Bahasa
dinyatakan dalam bentuk simbol.Kita mengungkapkan gagasan – gagasan, emosi,
kesusastraan, filsafat semuanya melalui bahasa.
Masyarakat atau anggota masyarakat, apapun
kedudukan mereka, tidak pernah mempergunakan bahasa batin untuk Matematika.
Mereka membangun sejarah pribadi dan kehidupanya di dalam bahasa, sehingga
ekspresi atau ungkapan jika mereka gunakan akan mempunyai arti atau makna yang
berbeda- beda. Oleh karena itu, penafsir bertugas untuk mengurai keseluruhan
rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa.
Setiap
kali kita membaca, sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi
ataupun aliran yang hidup dari macam – macam gagasan.Walaupun demikian, sebuah
teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan
diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus.
Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks
itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural
dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain.
Penjelasan
structural cenderung untuk bersifat objektif, sedang pemahaman hermeneutik
memberi kita kesan subjektif. Jadi, di sini kita dapat dikotomi antara objektifitas dan subjektifitas yang
menimbulkan problem.Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan
“dekontekstualisasi”, baik dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis,
serta untuk melakukan “rekontekstualisasi” secara berbeda di dalam tindakan
membaca. Dikotomi antara “penjelasan” dan
“pamahaman” itu tajam, yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus
kembali pada struktur permulaanya.
Dalam hal ini tugas
hermeneutik menjadi sangat berat, sebab hermeneutik
harus membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks
tersebut dan cara pemahamanya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan
dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus
dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi
dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek – aspek
subjektif dan objektif.
Otonomi
teks ada tiga macam: instensi atau maksud pengarang, situasi kultural, dan
kondisi social pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.Dengan membuka diri terhadap teks, ini berarti
kita mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan cara yang objektif.[4]Dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersitegang dan
bersikap seakan – akan menghadapi teks yang beku, tetapi kita harus dapat
“membaca ke dalam teks itu”. Kita juga harus mempunyai konsep – konsep yang
kita ambil dari pengalaman – pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita
hindarkan keterlibatanya, sebab konsep – konsep ini dapat kita ubah atau
disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks, sekalipun dalam intepretasi kita
juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita.Lain halnya dengan teks –
teks sejarah. Kisah – kisah perang diponegoro dan para pahlawan bangsa lainya yang
masih kita rasakan up to date sampai saat ini juga. Pembaca kisah
membuang hal – hal yang dianggap tidak relevan lagi untuk zaman sekarang
ini.Namun kisah tersebut sampai sekarang masih dapat menarik untuk dibaca, dan
dapat diterapkan untuk zaman itu.
Contoh,
kitab suci injil menyajikan contoh teks yang berasal dari zaman yang berbeda
dengan zaman kita, namun masih juga kita rasakan relevan atau dapat kita
terapkan pada semua hikayat dan peristiwa pada masa mendatang. Jika injil tidak
dapat diterapkan pada zaman kita ini, maka tidak akan mungkin kita sampai saat
ini masih mendiskusikanya. Injil seringkali kita bayangkan sebagai sebuah
“kitab yang hidup”, yang isinya dapat dinikmati oleh setiap generasi. Pembaca
injil tidak “membaca ke dalam” teks, melainkan ia merelakan dirinya “dirasuki”
injil. Inilah kiranya yang dimaksudkan Ricoeur dengan pernyataanya:
“memahami bukanlah berarti memproyeksikanya diri ke dalam teks, melainkan
membuka diri terhadapnya”. Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau
berada di tengah – tengah teks yang (ign madya)
dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks untuk
sekedar tut wuri saja.[5]
4.
Arti
“memahami”
Setiap
hermeneutik membuat pembedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman,
penjelasan dan interpretasi. Namun setiap hermeneutik
juga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa
sehingga seakan – akan ketiganya saling menyusupi satu sama lain. Tentang
sirkularitas tersebut, Ricoeur mengatakan: “Engkau harus memahami untuk percaya
dan percaya untuk memahami”. Namun ia juga mengatakan bahwa lingkaran tersebut
hanya semu saja, sebab tidak ada satupun hermeneutik
yang pada kenyataanya mau mendekatkan diri pada apa yang dikatakan oleh teks
jika ia tidak mengahayati sendri suasana makna yang ia cari. Hermeneutik
harus menggumuli interpretasinya sendiri, ia harus mulai dengan pengertian yang
seakan – akan “masih mentah”,sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai
melakukan interpretasi.
Menurut
Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan
atas simbol – simbol ke gagasan tentang “berfikir dari” simbol – simbol.
Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke
simbol.Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta “penggalian” yang
cermat atas makna.Langkah ketiga adalah langkah yang benar – benar filosofis,
yang berfikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga
langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah – langkah pemahaman bahasa
yaitu: semantik, refleksif serta eksistensial atau ontologism.
Atas dasar langkah – langkah ini, Ricoeur menyatakan bahwa pemahaman itu pada
dasarnya adalah “cara berada” (mode of being)atau cara “menjadi”.
Pernyataan ini tampaknya sulit untuk dimengerti.Pemahaman hanya dapat terjadi
pada tingkat pengetahuan atau Erkenntnistheorie. Kita tidak dapat dengan
sewenang–wenang mengetengahkan pengertian tentang pemahaman pada tingkat
ontologism, sebab cara pemahaman kita selalu mendapatkan “bantuan” dari sketsa
– sketsa, contoh – contoh, peninggalan – peninggalan purbakala, salinan atau
fotokopi. Bahkan Ricoeur sendiri menyatakan bahwa hubungan antara hidup dan
pengalaman – pengalamannya boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua
arah antara manusia dengan alam dan sejarah. Jika demikian, bagaimana Ricoeur bisa
mengatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara “menjadi”
dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan.
Sebenarnya
dengan pendapatnya itu Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa
hermeneutikadalah sebuah “metode” yang dapat bersaing dalam tingkat yang
sejajar dengan metode dalam sains.Ricoeur juga mempertanyakan metode yang
dipergunakan Dilthey dalam Geisteswissensgaften-nya[6],
yaitu hermeneutik, yang dibedakanya dengan metode yang terdapat pada Naturwissenschaften,
Ricoeur sendiri tidak benar – benar memperlakukan hermeneutik
sebagai metode.Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif, kaku,
dan terstruktur yang terdapat dalam ilmu alamiah. Sebab pemahaman adalah salah
satu aspek dari “proyeksi Dasein” (proyeksi manusia seutuhnya)dan
keterbukaanya terhadap being.Untuk mempermudah pemahaman tentang
pengejawantahan being, kita ambil contoh misalnya: manusia kita pahami
sebagai Dasein atau manusia seutuhnya, artinya kita memandang manusia
dari segala aspek yang ia miliki, baik sejarah, asal usul, cita– cita, gaya,
penampilan, kejelekan, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi “khas”.
Jadi kita memahami manusia sebagaimana ia “menjadi”.
Kebenaran
untuk manusia autentikatau Dasein, seperti dalam istilah
Heidegger, tidak dapat diperlakukan sebagai kebenaran ilmiah. Jika Dasein
dianggap sebagai suatu “proyeksi”-seakan – akan terlempar ke depan dirinya
sendiri – maka manusia “diberi” sifat terbuka terhadap keberadaanya sendiri.
Jadi terdapat rasio satu banding satu tentang kebenaran dan makna di antara Dasein
dan being, tidak terstruktur, tidak dapat dibuktikan, fleksibel dan
personal. Ini berarti bahwa pada tingkat pemahaman yang ketiga, sesorang akan
berada pada tingkat eksistensial atau ontologism, atau pada tingkat being itu
sendiri.
Ada
sejenis pemahaman lain, yaitu yang datangnya dari penderitaan, yang dikemukakan
oleh Karl Jaspers. Melalui penderitaan kita sering memahami sesuatu, yang kita
seakan – akan terpelanting untuk memahami pribadi manusia. Ini merupakan
tingkat pemahaman yang tertinggi, yaitu tingkat eksistensial atau ontologis.
Perbedaan
antara seorang pakar bidang sains dan seorang hermeneut ialah: bila seorang
pakar sains menerangkan, maka hanya penafsir ilmu – ilmu kemanusiaan yang
memahami. Artinya para pakar sains berhenti pada kasus yang ia terangkan
sebagai suatu fakta atau peristiwa. Biasanya ia tergantung pada diagram ilmiah
yang dipergunakanya untuk memberikan penjelasanya. Tetapi hermeneutik
mampu memahami sesuatu tanpa harus ada penjelasan yangterikat pada suatu
diagram tertentu. Oleh karena itulah “metode” yang ia pergunakan adalah
interpretasi.Interpretasi selalu bersifat open-ended.Jika
kita mendapatkan titik akhir sebuah interpretasi, ini berarti pemerkosaanterhadap
interpretasi.
Sepakat
dengan pandangan Gadamer, Ricoeur juga berbicara mengenai Wirkungsgeschichtliches
Bewusstsein atau kesadaran yang diarahkan pada akibat – akibat sejarah.
Namun dalam uraianya, ia menegaskan bahwa konsep itu harus dipertentangkan
dengan konsep atau pengertian tentang “distansi sejarah”, sebab konsep yang
terkahir ini berbau metodologis. Hal ini menunjukan kepada kita tema pertama
dari empat temayang diketengahkan oleh Ricoeur, yaitu bahwa tidak ada titik nol
dari mana kritik yang tuntas dapat mulai dilakukan.Meskipun sesorang
menempatkan dirinya pada distansi tertentu, namun “akibat” atau hasil
penelusuran sejarah tidak dapat lepas dari pengamatan kesadaran penafsir.
Tema
yang kedua ialah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi
kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu
sekejap saja.Tema kedua ini menunjukan pandangan ekstrem yang lain sesudah tema
yang pertama di atas. Dalam filsafat Ricoeur, tempat yang layak untuk seorang
penafsir adalah di tengah – tengah kedua eksterm
tersebut.
Tema
ketiga: jika tidak ada pandangan yang menyeluruh, maka juga tidak akan situasi
yang secara mutlak membatasi kita. Sebab, jika ada situasi maka ada cakrawalayang
dapat menyempit atau meluas.Setiap kejadian atau
peristiwa mempunyai latar belakang atau cakrawala karena setiap fakta atau
peristiwa selalu tersituasi.Maka juga selalu ada goncangan antara peristiwa
yang tersituasi dengan cakrawalanya.Interpretasi harus selalu memandang kedua
hal itu sebagai hal yang korelatif atau berinteraksi.
Tema
keempat ialah perpaduan antarcakrawala, Ricoeur mengatakan bahwa tidak ada satu
cakrawalapun yang bersifat tertutup sejauh masih mungkin menempatkan
seseorang pada pandangan yang lain dalam kebudayaan yang lain pula. Mungkin
pandangan Ricoeur ini mirip dengan pandangan Gadamer.Pemahaman adalah perpaduan
atarcakrawala.Hermeneutik harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalnya
dalam konteks yang semestinya.Ia harus mampu memisahkan mana yang seharusnya
masuk dalam cara pemahamanya dan mana yang seharusnya disingkirkan dari antar
konsep – konsepnya yang popular atau yang hanya hayalan saja. Penafsir harus
waspada terhadap berbagai macam prasangka ataupun pendewaan terhadap akal
pikiran.[7]
III.
KESIMPULAN
Tujuan utama dari
Hermeneutik, menurut Paul Ricoeur, adalah pemahaman.Hal itu disebabkan karena
hermeneutik didasarkan pada premis bahwa teks-teks mengatakan sesuatu tidak
hanya mengenai dirinya sendiri melainkan juga mengenai dunia yang lebih luas. Dengan demikian, dengan membaca teks melalui jalan hermeneutik,
kita akan mendapatkan pemahaman yang jauh lebih luas dan lebih besar mengenai
dunia, tidak hanya mendapatkan makna-makna secara literalnya saja. Yang
dimaksud Ricoeur untuk sampai pada level pemahaman, yaitu
bahwa ‘Memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan
membuka diri terhadapnya’. Penafsir selalu dalam keadaan in medias res
atau berada di tengah-tengah teks, dan tidak pernah hanya di depan atau pada
permulaan atau pada akhir teks saja.
IV.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang mampu kami paparkan, tentulah banyak
sekali kekurangan atas makalah yang kami buat. Dengan bantuan partisipasi
pemikiran dari kawan-kawan semoga dapat sempurna kekurangan tersebut.Kritik dan
saran selalu terbuka bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA
Sumaryono, E, HermeneutikSebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Poespoprodjo, W, Interpretasi, Semarang:Remadja Rk Karya CV, 2010.
Al-Mirzanah, Syafa’atun, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat
Reader, Yokyakarta:Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011.
file:///C:/Users/Win32/Downloads/Selamat%20Datang%20di%20Dunia%20Amanda%20%20MAKALAH%20HERMENEUTIK%20PAUL%20RICOEUR.htm.
[1]E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat, (Yokyakarta: KANISIUS. 1999), hal. 103-104.
[2]file:///C:/Users/Win32/Downloads/Selamat%20Datang%20di%20Dunia%20Amanda%20%20MAKALAH%20HERMENEUTIK%20PAUL%20RICOEUR.htm.
[3]E. Sumaryono. Op.cit. h. 105-107.
[5]E. Sumaryono. Op.cit. h. 110.
[6]Syafa’atun Al-Mirzanah, Pemikiran
Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader, (Yokyakarta:Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 205-206.
[7]E. Sumaryono. Op.cit. h. 110-114.
Oke
BalasHapus