Doc. Internet
Disusun oleh :
Muhammad Ruli (134211027)
Siti Fatihatul Ulfa (134211028)
Fazat Laila (134211029 )
I.
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah salah
satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia,
hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Allah tidak menjadikan manusia itu seperti
makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara
jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi
menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai
dengan martabatnya.
Sehingga hubungan antara
laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling
meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa
ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan
laki-laki dan perempuan itu saling terikat.
Bentuk pernikahan ini,
telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks), memelihara keturunan
dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa
dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri diletakkan
dibawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus. Peraturan yang
seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
Didalam makalah ini kami
akan menjelaskan tentang pengertian, tujuan, syarat-rukun, pencatatan dan
pernikahan Islami di Indonesia.
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian pernikahan
Pernikahan berasal dari kata “Nikah” yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.[2]
Menurut istilah hukum syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Abu Yahya Zakariya Al Anshary mendefinisikan, Nikah menrutu istilah
syara’ adalah akad yang mengandung hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang
semakna dengannya.
Muhammad Abu Ishrah menambahkan, yaitu akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan
wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya
serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.[3]
Sayyid Sabiq lebih lanjut mengomentari: Pernikahan merupakan salah
satu sunnatullah yang berlaku pada manusia. merupakan cara yang dipilih Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.[4]
B. Tujuan pernikahan dalam Islam
1) Mendapatkan dan
melangsungkan keturunan
Menikah adalah usaha untuk menyempurnakan apa saja yang disenangi oleh Allah,
yaitu untuk mengambangkan populasi manusia dan kehidupan keluarga yang bahagai
yang umumnya ditentukan dengan kehadiran anak-anak merupakan buah hati dan
belahan jiwa dan pembantu – pembantu dalam hidup didunia bahkan akan memeberi
tambahan amal kebajikan di akhirat nanti manakala dapat mendidiknya menjadi
anak yang shaleh. Seperti sabda nabi yang diriwayatkan muslim dari Abu Hurairah.
اذامات الانسان انقطع عمله الا من ثلا ث صد قة جارية او علم ينتفعه به او
ولدصالح يدعوله
“Apabaila manusia meninggal duni,maka putuslah amalnya
kecuali tiga hal, shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh
yang selalu mendo’akannya”.
2) Memenuhi hajat manusia
untuk penyaluran syahwatnya dan penumpahan kasih sayangnya, berdasar tanggung
jawab.
Sudah menjadi kodrat iradah Allah manusia diciptakan berjoodoh-jodoh dan
diciptkna oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antar pria dan
wanita, sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baaqarh 187 yang menyatakan:
£`èd
Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur
Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3
187. ; mereka
adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka.
Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual, juga untuk
menyalurkan cinta dan kasih sayang antara peria dan wanita secara harmonis dan
bertanggung jawab, karena penyluran cinta dan kasih sayang diluar pernikahan
tidak dapat menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak.
3) Memelihara diri dari
kerusakan
Sesumgguhmya ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat
ditunjukan melalui perkawinan dan orang-orang yang tidak melakukan
penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan menimbulkan
kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu condong untuk mengajak pada
perbuatan yang tidak baik. Al-Quran surat yusuf ayat 53
4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/
53. Dan karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
4) Untuk menimbulkan
kesungguhan bertanggung jawab dan kesungguham, mencari harta yang halal.
Karena apabila seseorang yang telah berkuluarga akan menumbuhkan rasa
tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan mencari rizki
yamg halal sebagai bekal hidup keluarganya.
ما أنفقه الرجل على اهله فهو صدقة,وان الرجل ليؤ جر فى اللقمة يرفعها الى
امرإته
Nafkah yang
dikeluarkan oleh seorang laki-laki (suami) umtuk keluarganya termasuk sedekah; seorang
laki-laki diberi pahala kerena sesuap makanan yang masuk kemulut istrinya (HR. Muttafaq’alaih)
5) Membangun rumah tangga
dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih
sayang sesama warga.[5]
C. Rukun-rukun pernikahan
Rukun pernikahan menurut
para ulama hanafiah hanya ijab daan qabul saja, sedangkan menurut jumhur ulama ada
empat, yaitu sighat ( ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali
adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad
adalah al-istimtaa’ (bersenang senang) yang merupakan tujuan kedua
mempelai dalam melangsungkan pernikahan, sedangkan mahar bukan merupakan suatu
yang sangat menetukan dalam Akad. Mahar merupakan syarat seperti saksi.
Menurut para ulama
hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah satu kedua
pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menurut
mereka adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun
ijab menurut jumhur ulama perkataan yang keluaar dari wali istri atau orang
yang menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul merupakan hanya merupakan
reaksi dari adanya ijab. Jika qabul diucapkan sebelum ijab maka bukan namanya
qabul karena sudah tidak bermakna lagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukan
akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh pihak suami.
D. Syarat-syarat sahnya pernikahan
Ada sepuluh syarat yang
disyaratkan demi keabsahannya sebuah pernikhan, sebagian telah menjadi kesepakatan
para ulama dan sebagian lagi yang masih diperselisihkan.
a) Objek cabang
Si perempuan hendaknya
tidak diharamakan dalam jangka waktu tertentu, atau diharamkan karena adanya
sebuah shubhat ( keraguan), atau diperselisihkan di kalangan para ahli
fikih seperti menikahkan yang masih dalam masa iddah dari talak baa’in, jika
objek cabang ini tidak terealisasikan maka menurut ulama hanafiyah akadnya
tidak sah.
Objek asli: hendaknya
siperempuan bukan merupakan perempuan yang diharamkan selamanya bagi si lelaki.
Seperti saudari, putri, bibi dari ayah bibi dari ibu.
b) Shighat Ijab dan Qabul
harus kekal dan tidak temporal
Maskudnya jika pernikhan
diberi batasan waktu maka pernikahan tersebut batal, seperti dilakukakan dengan
shighat tamattu’ (bersenang-senang).
c) Kesaksian
Menurut empat madzhab
telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat untuk syahnya pernikahan.Pernikahan
tidak sah tanpa dua saksi selain wali, karena sabda Nabi saw. yang diriwayatkan
oleh Aisyah.
لاَ نكاح إلا بوليَ وشا
هدي عدل
“Tidaklah
ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua orang saksi”. (HR Darul Qutni dan
Ibnu Hibban).
d) Ridha kedua belah pihak
dan tidak ada paksaan
Ini merupakan syarat
menurut jumhur ulama,salain Hanafiah. Pernikahan tidak sah tanpa keridhaan
kedua belah pihak yang melaksanakan akad, jika salah satu pihak dari kedua
belah pihak tersebut dipaksa menikah menikah dengan diancaman dibunuh, pukul
keras atau penjara dalam waktu lama.
e) Menentukan kedua mempelai
Para ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah menyebutkan sarat ini.Akad nikah
tidaklah sah melainkan atas dua mempelai yang telah ditentukan. Karena tujuan
menikah adalah diri kedua mempelai tersebut, maka tidaklah sah apabila tanpa
menentukannya.
f) Salah satu mempelai atau
wali tidak sedang dalam keadaaan Ihram Haji atau Umrah.
Ini merupakan syarat
menerut jumhu ulama selain hanifah.Pernikahan tidak lah sah jika salah satu
dari kedua mempelai sedang dalam keadaan Ihram haji atau umrah.orang yang
sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan, karena sabda Nabi saw. Sebagaiman
diriwayatkan oleh Utsman:
لاَيَنْكِحُ
اَلْمُحْرِمُ وَلاَيُنكِحُ
Orang yang sedang beihram tidak boleh
menikah atau manikahkaan. (HR Muslim)
g) Pernikhan harus memakai
dengan mahar menurut imam malikiyah
Menurut para ulama
malikiyah pernikahan harus dilakukan dnegan mahar.Jika tidak disebutkan dalam
akad maka harus disebutkan ketika hendak bersenggama, atau ditetapkan mahar
mitsli stelah bersenggama. Dan menurut malikiyah menikah tampa mahar tidak lah
sah.
Sedangkan menurut jumhur
ulama, tidaklah rusak akan nikah tanpa mahar, disyaratkan tanpa ada mahar. Karena
mahar bukan merupakan rukun dalam akad, pun bukan juga syarat, akan tetapi
mahar merupakan salah satu hukum dari hukum hukum akad.
h) Tidak adanya kesepakatan
suami dengan para saksi untuk menyembunyikan pernikahan ini
menurut ulama malikiyah
apabila terjadi seperti ini hukum pernikahan tidaklah sah. Sedangkan menurut
jumhur ulama ini bukan merupakan syarat sahnya akad, Seandainya suami dan para saksi bersepkat untuk
menyembunyikan pernikhan dari khalayak manusia maka akad tidaklah rusak. Karena
pengumuman pernikhan dapat teraelisasikan hanya dengan kehadiran dua saksi.
i)
Salah satu dari kedua mempelai tidak sedang menderita penyakit yang
mengkhawatirkan
Ini merupakan syarat
menurut malikiyah. Menurut pendapat yang mahsyur, tidaklah sah nikah lelaki
atau perempuan yang sakit membahayakan diri mereka. Seperti penyakit yang biasanya
berakhir pada kematian.
j)
Kehadiran wali
Ini merupakan syarat
menurut jumhur ulama, salain hanafiah. Akta nikah tidaklah sah kecuali dengan
kehadiran seorang wali sebagaimana Firman Allah ( Al Baqarah:232)
xsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Zt £`ßgy_ºurør&
232.,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya
Imam Syafi’i berkata,”Ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan
tentang pentingnya wali, jika tidak demikian maka tidak ada artinya lagi para
wali menghalangi perkawinan”juga karena sabda Nabi saw.
لاَ نكاح إلا بولي
Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.[6]
E. Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan merupakan sebuah keterangan tertulis tentang
akad pernikahan yang bertujuan untuk mendapat keabsah-an dari hukum Negara dari
adanya akad tersebut.
Pengaturan pencatatan nikah tertulis secara jelas di dalam UU
Perkawinan. Yang di antaranya :
1.
Undang-Undang No.32 Tahun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21
November 1946 No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, di
seluruh daerah Luar Jawa dan Madura.[7]
2.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974.[8]
Pasal 2 Tentang Dasar Perkawinan
Ayat 1
Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat 2
Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.[9]
Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974, tentang Perkawinan.[10]
Pasal 2
(1) Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,
dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3) Dengan
tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai
Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian
terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan
secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat
nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri
atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat
yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap
hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta
kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa
atau yang setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai
nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin
Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
Undangundang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Izin Pengadilan
sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang
suami yang masih mempunya isteri;
e. Dispensasi
Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f. Surat kematian
isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian,
bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik
atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan
yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian
sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar
yang diperuntukkan untukitu.
(2) Apabila ternyata
dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud
Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat
(2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon
mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya
tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan
perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman
menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
a. Nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu;
b.
Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
F. Pernikahan Islami di
Indonesia
Di Indonesia berdasarkan
UU No. 1/PNS/1965 diakui ada 5 (lima) agama, yaitu Islam, Katholik, Protestan,
Hindu dan Budha.[11]
Khususnya pasal 2 ayat 1
UU No. 1/1974 yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”[12]
Masing-masing agama yang
diakui ini, mempunyai ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya. Pada
prinsipnya setiap agama ini menghendaki penganutnya untuk menikah dengan orang
yang sama agamanya dan tidak menghendaki penganutnya untuk mengadakan
pernikahan dengan penganut agama lainnya, bahkan ada agama tertentu yang
melarang penganutnya untuk mengadakan pernikahan dengan penganut agama lainnya.
Berikut akan dikemukakan
pandangan dari agama-agama yang diakui di Indonesia tentang pernikahan.
a. Pandangan Agama Islam
Menurut Hukum Islam pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta
kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah. Pernikahan dalam Islam merupakan
fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang
paling besar dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat
pendidikan dan pemeliharaan. Sebagaimana penegasan Nabi saw:
النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه البخارى)
Maksudnya: Pernikahan
(keterikatan dalam hubungan suami istri) adalah salah satu sunnahku (cara
hidupku). Maka siapa yang tidak senang dengan cara hidupku (yakni yang hendak
mengekang dorongan seksualnya sehingga tidak menyalurkannya melalui pernikahan
yang sah, demikian juga yang bermaksud meraih kebebasan memenuhi dorongan seksual
itu tanpa pernikahan) maka dia bukan dari (yakni termasuk dalam kelompok
umat)-ku.” Demikian sabda Rasul saw. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik ra.)[13]
Dan telah dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi bahwa
agama Islam menganjurkan pernikahan karena memandang pernikahan mempunyai nilai
keagamaan sebagai ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi, guna menjaga
keselamatan hidup keagamaan yang bersangkutan. Dari segi lain pernikahan
dipandang mempunyai nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluriah hidupnya guna
melangsungkan kehidupan jenis, mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan
serta memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya,
sengaja hidup membujang tidak dapat dibenarkan.
Untuk melakukan suatu pernikahan, bagi para pemeluk agama Islam selain
memenuhi syarat-syarat pernikahan juga harus dipenuhi rukun pernikahan. Adapun
perbedaan antara syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan, yaitu bahwa
syarat-syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum pernikahan
dilangsungkan, sedangkan rukun pernikahan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi
pada waktu pernikahan berlangsung.
Dalam Hukum pernikahan Islam ada 4 (empat) rukun pernikahan yang harus ada
sebagaimana (pasal 14 kompilasi Hukum Islam):
ü
Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
ü
Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau
wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
ü
Adanya wali dari calon istri.
ü
Adanya dua orang saksi.
Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut
dianggap tidak sah, dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu
diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan
seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila
keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap
sah.[14]
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila
perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2
ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas
dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak
wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7
ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak
pria atau pihak wanita.
b. Pandangan Agama Katholik
Menurut agama Katholik bahwa pernikahan adalah sakramen, karena agama
Katholik memandang pernikahan sebagai suatu yang suci serta persatuan cinta dan
hidup antara seorang pria dan seorang wanita adalah merupakan persatuan yang
luhur.
Pernikahan merupakan persetujuan antara seorang pria dan wanita untuk
saling mengikatkan diri sampai salah seorang dari mereka meninggal dunia dan
hanya pada seorang itu saja untuk memperoleh keturunan. Oleh karena itu untuk
dapat melangsungkan pernikahan menurut agama Katholik, pada masing-masing pihak
harus terkandung maksud.
c. Pandangan Agama Protestan
Mengenai pemahaman akan arti pernikahan agama Protestan mempunyai pedoman
yang sama dengan agama Katholik, yakni yang terdapat dalam Alkitab. Menurut
agama Protestan Tuhan menghendaki pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup,
yang berlaku seumur hidup, sehingga mereka harus tetap setia dan saling
mengasihi da tidak boleh bercerai. Jadi menurutnya bahwa pernikahan itu
bersifat kekal sampai maut menceraikan mereka.
d. Pandangan Agama Hindu
Menurut pandangan agama Hindu pernikahan yaitu sebagaimana terdapat dalam
berbagai sastra dan Kitab Hukum Hindu (Smriti atau Wiwaha).
Dalam masyarakat Hindu soal pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang
khusus dalam kehidupan mereka. Menurut kitabnya Manusmriti, pernikahan bersifat
religious karena pernikahan adalah ibadah dan obligatoir sifatnya karena
dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk
menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra.
Pernikahan (wiwaha) diidentikkan dengan sakramen yang menyebabkan kedudukan
lembaga pernikahan sebagai lembaga yang tidak terpisah dari hukum agama
(dharma).
e. Pandangan Agama Budha
Dalam buku Nasehat pernikahan agama Budha dari Departemen agama, memandang
pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang harus dijalin dengan cinta dan
kasih sayang seperti yang diajarkan oleh sang budha. Pernikahan yang
berdasarkan cinta kasih dipersatukan dalam ikatan lahir batin bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik dalam kehidupan sekarang maupun masa
yang akan datang.
Dalam pedoman hukum pernikahan umat Budha yang termuat dalam
keputusan-keputusan Sangha Agung Indonesia tentang Hukum Pernikahan, tata cara
pernikahan dan tata cara kematian menurut Hukum Budha, antara lain disebutkan:
upacara pernikahan umat Budha dianggap sah apabila melalui upacara ritual yang
diadakan di Vihara, Cetya, Rumah atau Kantor, sepanjang ruangan mencukupi untuk
itu yang dilengkapi dengan altar.[15]
IV.
KESIMPULAN
Pernikahan merupakan asas
yang paling kokoh dan prinsip yang paling kuat agar terciptanya sebuah tujuan
yang baik yaitu kelanggengan, kebahagiaan keluarga dan agar anak-anak tumbuh
dengan nuansa kecintaan, kelembutan, serta terwujudnya ketenangan batin masing-masing
dari suami istri. Dalam masalah pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari
mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Dan Pengesahan secara
hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang
dapat kami paparkan tentang Pernikahan. Semoga bermanfaat, dan tentunya makalah
ini tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan. Oleh karena itu
penulis memohon kritik dan saran untuk membangun perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhaili , Wahbah 9, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Darul
Fikri, 2007.
Dradjat, Zakiah , Fiqih
Islam, Yokyakarta: PT Dana Bakti Wakaf,
1995.
Eoh, O. S, Perkawinan Antar
Agama: Dalam Teori dan praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Ghozali, Abdul
Rahman, Fiqih Munakahat, , Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010.
Kompilasi Hukum Islam, Bandung:
Nuansa Aulia 2011.
PP_No_9_1975.pdf/22 November 2014.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 6, Bandung: PT Alma’arif 1980.
Shihab, M. Quraish, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2007.
Syarifudin,
Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group 2011.
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6,
(Bandung: PT Alma’arif 1980), hlm. 7-8.
[2]
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, ,(Jakarta: Kencana Prenada Media
Group 2010) Ed. I Cet IV, hlm.7
[5]
Wahbah az-zuhaili 9, Fiqih Islam
wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), hlm. 67-84.
[6]
Zakiah Dradjat, Fiqih Islam,
(Yokyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995),
hlm. 45-50.
[7]
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2011) Ed. I Cet III, hlm.20
[8]
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia 2011) hlm.76
[10]
PP_No_9_1975.pdf/22 November 2014
[11]
O. S. Eoh, Perkawinan Antar
Agama: Dalam Teori dan praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 105.
[12]
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan.
[13]
M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal, 55-56.
[14]
O. S. Eoh. Op. Cit. hlm. 107.
[15]
O. S. Eoh. Op. Cit. hlm. 108-114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)