Baru Kusadari, Kau Dekat denganku
By : Siti Fatihatul Ulfa
Aku
hidup dan dibesarkan di suatu desa terpencil yang asri dan damai yaitu desa
yang berada di wilayah Ungaran, namun aku tak merasakan kenyataan itu. Yah.. keluh
kesahku karena ulah seorang pemuda yang
tak kuharapkan kehadirannya dalam hidupku. Ya Tuhan, mengapa engkau beri
aku yang tidak sesuai dengan do’aku. Di tiap
bisunya malam aku selalu mengharap kepada-Mu untuk
menghadirkan seorang sosok idaman yang kelak menjadi imamku. Aku tidak
menyalahkan dia yang selalu menggangguku, hmmm.. mengapa
ketika melihatnya hatiku tertutup tanpa sedikit celah baginya, walaupun aku
belum mengenal dirinya secara mendalam.
Malam itu terasa
hening tanpa hiasan bintang, eloknya bulan telah sirna tertutup mendung. Di
malam itu aku memutuskan untuk pergi mencari kedamaian dan
memutuskan untuk meninggalkan desa kelahiranku. Meskipun terasa berat
meninggalkan keluargaku, tetapi ini
keputusan yang sudah bulat. Karena pemuda itu sebut saja Anjas yang
terus saja mengusik kehidupanku, keputusanku itu sudah di-
ketahui adikku. Dari arah yang tak terduga adikku menyapa ketika aku
sedang mengemas barang-barang ke dalam tas.
“Kak kamu yakin mau pergi ke Wonogiri?”, tanya
Nelly dengan nada terkejut.
Secara spontan, aku menjawabnya,”Iya dik.”
“Kenapa kak?” pasti karena Anjas ya.. sahut Nelly.
“Hmm, iya, Kakak sudah tidak betah akan sikapnya yang kian hari sikapnya
menerorku”, dengan rasa kesal aku menjawabnya.
“Ya sudah kalau memang itu yang terbaik untuk kakak, lakukanlah.”
“Aku di sini akan menjaga adik dan ibu dengan baik”, ucap Nelly dengan nada
meredam keresahanku.
“Makasih dik”, sahutku dengan lega.
“Ya kak, Take care”, tegas
Nelly.
“Pasti”, sahutku lantang.
Aku mulai melangkah menjauh dari rumahku dan terus berjalan, tanpa aku sadari pada saat
itu Anjas memergoki akan kepergianku, entah dari mana ia tahu tentang
kepergianku.
“Mau kemana Zah?”, tanya
Anjas dengan mimik penasaran.
“Ke Wonogiri”, jawabku singkat.
“Ya sudah aku anterin ke halte”, sahut Anjas dengan penuh harapan.
Dengan segera ia menuju mobil dan
mendekatkanya ke arahku.
“Makasih”ucapku singkat.
“Kalau nggak berkenan, ya... aku tungguin
sampai busnya datang”, gerutu Anjas sembari keluar dari mobilnya dan mendekat
ke arahku.
“Gak usah, kamu langsung pulang saja, pasti
keluargamu akan lebih membutuhkan bantuanmu”, tolakku
dengan santai.
“Tapi...”, sahut Anjas.
“Pulanglah ! ”, sambungku sebelum ia menyelesaikan ucapannya.
“Aku minta maaf”, ucap Anjas dengan mimik penyesalan. Tapi aku hanya
terdiam tanpa kata.
Bus yang kutunggu
akhirnya datang juga, aku menaikinya seakan tanpa ada rasa ragu meskipun penuh
sesak, karena aku ingin sampai rumah nenek lebih cepat. Semakin lama semakin
jauh dan menghilang begitu saja dari pandanganku sosok Anjas yang berdiri diam,
bagai patung karena merasa bersalah.
Setelah tiga jam berada di bus, akhirnya tiba juga di desa tempat
nenekku tinggal. Ketika bus berhenti, aku turun dengan tenang dan rasa nyaman
mulai merasuk dalam jiwa, ”Inilah kehidupanku yang baru”, gumamku dalam hati. Ku
langkahkan kakiku dengan riang, sesampainya di depan pintu ku ketuk pintu nenek
yang lama kurindu.
“Assalamu’alaikum”, ucapku.
“Waalaikum salam”, suara nenek semakin mendekat dan menghampiriku.
“Masya’allah, cucuku cantiknya.... Sudah dewasa lagi. Nenek
pangling”, sanjung nenek kepadaku.
“Kamu ke sini sama siapa?” tanya nenek sembari menengokkan kepala ke arah
kanan -kiri.
“Sendiri nek”, jawabku dengan senyum manisku.
“Masih ingat jalannya? Kan dah
lama nggak ke sini, tanya nenek dengan nada meledek, kebetulan aku
sudah lama belum berkunjung ke rumahnya.”
“Masih dong nek..... aku kan cucu kesayangan nenek, buktinya aku
sampai di sini”, sahutku sambil menampakkan manjaku padanya.
“Bagaimana kabar ibu dan adik-adikmu?”, tanya
nenek sambil jalan mencari hidangan untukku.
“Alhamdulillah baik nek”, sahutku dengan tubuh terlentang di sofa.
“Syukurlah kalau begitu, ayo... sekarang bawa tasmu ke kamar dan langsung ke meja
makan, lahap sampai kenyang”, perintah nenek dengan nada kasih sayang nenek
kepada cucunya.
“Iya nek........”, kataku manja.
Setelah makan aku menuju kamar, berjalan dan duduk di
samping jendela. Aku tercengang kaget melihat pria yang aku mimpikan berada di
luar.
Kemudian aku lari menuju keluar dan mencarinya, tetapi ia tak kutemukan, hingga
aku merasa lelah.
“Hei... suara terdengar mengagetkanku dan membuatku salah tingkah.
Aku hanya tersenyum tipis pada bibirku.
“What is your name?”, tanya Dika.
“Zahra.... Ya, panggil saja Zahra ”, jawabku
malu.
“Kamu cantik”, ucap Dika
“Ohh ya..?”, sahutku tersipu.
“Ya, belum pernah aku menjumpai wanita secantik dirimu.”
Aku menjadi salah tingkah dibuatnya.
“Di kala dirimu datang kau pancarkan wajahmu dan merasuk dalam hatiku”,
ungkap Dika.
Di kala kata itu terucap dari mulutnya, hatiku terasa
bergetar gak karuan, rasa cinta mulai tumbuh. “Apakah dia cintaku” kataku
dalam hati.
Dengan berjalannya waktu, rasa cintaku mulai tumbuh subur
seusai pengungkapan cintanya kepadaku.
”Maukah kau jadi pendampingku tuk selamanya”,
rayunya kepadaku.
Ku jawab dengan memandang langit, “Aku ingin lamunan kosong ini kau isi
dengan cintamu, namun aku sadar akan siapa diriku ini yang tak pantas tuk
bersanding di sampingmu.”
“Kenapa?”... sahutnya padaku. “Justru
yang beruntung adalah diriku, karena kau sempurna segalanya, sedangkan aku sebaliknya”, rayuan
gombalnya makin menjadi.
Setiap kali ia menghampiriku, kutanggapi dengan hangat
dan penuh perhatian. Ia mulai mengungkapan janji-janji manis yang membuat besar
harapanku kepadanya.
Hari demi hari kami lewati bersama, alangkah terkejutnya
ketika itu aku dijumpai seorang wanita dan berkata “Aku mohon please jauhi
Dika, aku tak ingin kehadiranmu di desa ini malah semakin mempersulit dan
membuat hati Vera terluka, tidak hanya itu, bisa jadi akan menimbulkan fitnah di antara kalian. Kasihan
Vera, dia ingin mempercepat pernikahannya, bukan malah memberi kesempatan
kepada anda untuk coba mendekatinya”, papar teman Vera sekaligus tetangga
nenek. Vera adalah tunangan Dika, yang dalam waktu dekat ini akan segera
melangsungkan pernikahan mereka.
Setelah kejadian itu aku merasa terpukul dan memutuskan
utuk kembali ke desa halamanku. Ternyata aku baru sadar aku adalah korban gombalannya.
Hp-ku bergetar, ketika aku lihat ternyata inbox terisi pesan dari
Dika, bahkan ia sering kali menelponku tapi ku tak ingin membalasnya, karena sudah
tahu hidung belangnya. Aku tak ingin mengusiknya lagi, meskipun hati ini
merasakan kepedihan dan penuh penyesalan.
Dan inbox terakhirnya berisi, ”Aku akan menikah
tiga hari lagi ku harap kamu bisa menghadirinya.”
Rasa pedih, bagai ditusuk-tusuk hati ini semakin terasa, hingga tak
kuasa aku menahannya. Dengan datangnya kabar itu, aku semakin mantap bahwa
cintaku telah dipermainkan.
Waktu terus berlalu, namun luka ini tak kunjung sembuh
yang membuat lemahnya diri ini, hingga terbaring sakit tak berdaya. Di saat-saat
seperti ini Anjas merelakan waktunya
untuk menjengukku, dan terus mencurahkan perhatiannya hingga aku sadar bahwa sebenarnya dia sangat
menyayangiku. Aku mulai mengenalnya lebih dalam dan mengetahui bahwa dia telah
berubah, bukan seperti Anjas yang sebelumnya, yang terus
mementingkan egonya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.
Dengan datangnya kembali
Anjas dalam hidupku, yang memberi warna berbeda, aku semakin merasakan cinta ini tumbuh dengan
sendirinya, aku sekarang sadar orang yang dulunya ku anggap sebagai pengaggu
sekarang menjadi penentram jiwaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)