Disusun Oleh:
A’ang Khunaifi (134211002)
Siti Sopuroh (134211007)
Muhammad
Harir
(134211024)
Siti
Fatihatul Ulfa (134211028)
Uyunil
Aizzah
(134211034)
I.
Latar Belakang
Dalam
dunia pendidikan banyak di bicarakan tentang pendidikan karakter. Munculnya
pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional
bukan merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan sosial politik dan kebangsaan ini memang cenderung
menghasilkan karakter bangsa. maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga,
penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, dan kerusakan
lingkungan merupakan indikasi masalah akat dalam pembangunan kararter bangsa
ini. Hal tersebut telah menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya membentuk
dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli
pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter,
dan bahkan sudah melangkah jauh dalam mempraktekannya. Hal ini perlu dilakukan
agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas warga bangsa ini) tidak asing
dengan tradisi keilmuannya sendiri. Sedangkan, pesantren adalah lembaga yang
bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Lembaga
pendidikan pesantren memiliki posisi stategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk pendidikan,
pesantren mempunyai tempat tersendiri dihadapan masyarakat. Hal ini karena
pesantren telah memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan bangsa dan
pengembangan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini sedikit akan kami
bahas mengenai pendidikan karakter dalam
pesantren.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
kami bahas adalah:
A. Apa
pengertian pendidikan karakter dan pesantren ?
B. Apakah
unsur-unsur karakter?
C. Bagaimana
pendidikan karakter dalam perspektif islam?
D.
Bagaimana arah dan metode
pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam?
E.
Bagaimana pola dan tujuan
pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia?
III.
Pembahasan
A. Pengertian pendidikan karakter dan pesantren
1.
Pendidikan karakter
Istilah karakter secara harfiah berasal dari
bahasa Latin“Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Karakter
disini berarti kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau
reputasinya. Dalam pandangan Doni Koesoema karakter diasosiasikan dengan temperamen
yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang
dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari
sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki oleh
individu sejak lahir. Disini karakter dianggap sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya, sifat khas dari
diri seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang
sejak lahir.[1]
Menurut
Tadzkirotun Musfiroh karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitude),
perilaku (behaviours), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).
Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti to
mark atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam,
rakus dan berprilaku jelek dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.
Sebaliknya orang yang berprilaku sesuai dengan kaidah moral dinamakan
berkarakter mulia.[2]
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang
menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan
kamil.[3]
2.
Pesantren
Sedangkan pesantren berasal dari kata santri, dengan
awalan pe, dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja, yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay
mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar
agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang
berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk
mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup
keseharian.[4]
Asal usul “santri” dalam pandangan Nurcholish Madjid[5]
dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa
“santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta
yang artinya melek huruf. Disisis lain, Zamkhsyari Dhofier[6]
berpendapat bahwa, kata “santri” dalam India berarti orang yang tahu buku-buku
suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara
umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri
sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata”cantrik”,
berartiseseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan
pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara
esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sam, kecuali sedikit
perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang
sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “pondok” berasal dari bahasa
Arab yang berarti funduq artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan
demikian kerena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar
yang jauh dari tempat asalnya.[7]
M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara
integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren
lebih mengakomoddasi karakter keduanya. Pondok pesantren lebih mengakomodasi
karakter keduanya. Pondok pesantren menurutnya, “Suatu lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik
serta independen dalam segala hal”.[8]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pesantren diartikan sebagai
asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara
isttilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa
tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan
kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan penting moral dalam
kehidupan bermasyarakat.[9]
B.
Dasar pendidikan Karakter dan landasan hukum di Indonesia
1. Dasar pendidikan karakter
Dalam Islam,
tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha
yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki
keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia barat.
Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama
yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman
tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan
moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti dari
perbedaaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan
rambu-rambu pendidikan karakter dalam islam. Akibatnya, pendidika karakter
dalam Islam lebih sering dilakukan dengan cara doktriner dan dogmatis, tidak
secara demokratis dan logis.
Implementasi
pendidikan karakter dalam Islam, tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah
SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.
Al-qur’an dalam surat Al-ahzab ayat 21 mengatakan:
Artinya: “Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.
Karakter atau
Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia.
Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali diarahkan kepada dunia
pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan pendidikan berada pada
barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan
secara moral memang harus berbuat demikian.[10] Pembinaan
karakter dimualai dari individu, karena pada hakikatnya karakter itu memang
individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual.
Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang kemudian
diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah
individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak, maka
dengan sendirinya akan mewarnai masyarakat. Pembinaan karakter selanjutnya
dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan karakter pada
setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram
dan sejahtera.
Hal ini dapat
dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan karakter mulia yang harus
diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga tuntunan syari’at. Sesungguhnya
Rasulullah adalah contoh serta teladan bagi umat manusia yang mengajarkan serta
menanamkan nilai-nilai karakter yang mulia kepada umatnya. Sebaik-baik manusia
adalah yang baik karakter atau akhlaknya dan manusia yang sempurna adalah yang
memiliki akhlak al-karimah, karena ia merupakan cerminan iman yang sempurna.
2.
Landasan
Pendidikan Karakter di Indonesia
Untuk mendukung
perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat
ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program
prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan
karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.[11]
Terkait dengan upaya
mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN,
sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)). Dengan demikian, RPJPN
dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional
pendidikan karakter sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional
2010-2014, sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan
Karakter (2010). Isi dari rencana aksi tersebut adalah bahwa “pendidikan
karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik
& mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati”.
Sementara itu, dalam
INPRES No. 1 Tahun 2010 disebutkan “penyempurnaan kurikulum dan metode
pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”. Di
lain sisi, dalam latar belakang UUSPN Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.[12]
Atas dasar itu,
pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik
dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang
baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing),
akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral
feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter
menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan
dilakukan. Dengan demikian, jelaslah sudah landasan dan alasan penerapan
pendidikan karakter di Indonesia.
C.
Unsur-Unsur
Karakter
Ada beberapa
dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas dalam
kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. adapun unsur-unsur
tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan.[13]
Sikap seseorang
akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai
bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi, kemauan,
kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self Conception).
1)
Sikap
Sikap seseorang
biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan
karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam
hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya menunjukkan
bagaimana karakternya.
2)
Emosi
Emosi adalah gejala
dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada
kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.
3)
Kepercayaan
`Kepercayaan
merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan
bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas,
pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter
manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh
hubungan denga orang lain.
4)
Kebiasaan dan
Kemauan
Kebiasaan
adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek
perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak
direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan
karakter seseorang. Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin
mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan
erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan kemauan sebagai
tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
5) konsep diri
(Self Conception)
Hal penting
lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep diri. Proses
konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar,
tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri,
biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu.
Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk
bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada
dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari orang
lain itu sangatlah berguna.
D.
Arah dan metode
pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Agama Islam
Pendidikan
karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak
dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati
dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan
sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah,
ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[14] Tilâwah
menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan
kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient).[15]
Gambaran di atas menunjukkan metode
pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah
Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik.
Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan
mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan,
membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan
potensi fitrahnya.
Untuk mengembangkan kemampuan membaca,
dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara
dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa
akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif
melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya
anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan
output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan
mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan
potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya
untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk
kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu
memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad
(tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome
dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan potensi pikir dan zikir
yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual
quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah
yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang
tinggi.
Metode tarbiyah digunakan untuk
membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan
interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang
guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang
bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik
dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan
yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dîb digunakan untuk
membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb
lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam
pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki
komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang
memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid
adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk
memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil
(2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu
(mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena
panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Metode tazkiyah digunakan untuk
membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa
dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya
jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya
adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm
dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan
jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang
mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah
adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa
dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk
mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal)
dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya
adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet,
tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu
memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan,
kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan
di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua
dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di
sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission
screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak
didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan
pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu
terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur.
Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya
dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri.[16]
E.
Pola pendidikan karakter dalam pesantren dan tujuannya
1.
Pola pendidikan karakter
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri unik
yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Secara sosiologis
munculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang berkompeten
untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis (biasanya) mapan, sehingga
wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh tokoh (sebut kyai) yang
mengasuhnya. Secara tradisional, pesantren memiliki masjid, pondokan, santri,
kyai, dan pengajian tradisional. Pesantren kemudian berkembang pesat dengan
diversifikasi program dan ilmu yang ditawarkan kepada masyarakat. Pesantren
modern pada umumnya telah dilengkapi dengan saranaa dan prasarana educational
dan non educational yang sangat modern juga. Secara umum, hubungan
cultural dan emotional antara kyai dan santri sangat erat. Para
santri menganggap kyai sebagai sentral figur sehingga mereka mentaati segala
petuah dan nasihatnya, bahkan ketaatan semacam ini menjadi doktrin di pesantren.
Pada mulanya,
pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak ustaz, kyai muda, dan ulama:
mereka yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Namun dalam perkembangannya
pesantren melakukan adaptasi dengan sistem pendidikan modern dengan dual
kurikulum: agama dan non agama, tujuannya mencetak ilmuan agamis atau kyai
intelektual. Dengan kurikulum yang beragam, guru juga beragam kualifikasinya.
Karena ragam program
yang ditawarkan, dengan sendirinya kurikulum di pesantren juga menjadi beragam.
Pesantren tradisional masih menekankan pada kajian-kajian kitab kuning
(sebagian besar kitab klasik), yang mencakup tauhid, fiqh, sejarah Islam,
akhlak, dan ilmu alat (Nahwu, sharaf, dan semacamnya), yang diajarkan secara
sorogan dan badongan. Apabila dibuat system klasikal mungkin ini menjadi
Madrasah diniah. Pesantren yang telah membuka sekolah atau madrasah
mengadaptasi kurikulum nasional dan tentu lebih complex system
pembelajaran dan managemennya.
Pesantren bebas
menerapkan 24 jam operasional belajar. Pada umumnya, pesantren tradisional
melakukan proses transformasi keilmuan melalui one-way-communication.
Dengan cara ini kyai atau ustaz menjadi sumber pembelajaran utama. Akan tetapi,
sistem sekolah yang ada di dalam pesantren hampir tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah
di luar lingkungan pesantren, yaitu proses pembelajaran yang lebih variatif dan
dinamis.
Dulu, kualitas input
pesantren belum teruji, karena tidak ada saringan masuk pesantren. Kunci utama
masuk pesantren adalah “pokoknya krasan.” Dengan sistem sekolah, calon santri
terpaksa harus diseleksi. Tujuan santri di pesantren sangat bervariasi: mulai
dari mencari ilmu, menunggu datangnya jodoh sampai menunggu datangnya ilmu
ladunni, meskipun qolla, tanpa batas waktu yang ditentukan. Tetapi pesantren yang
sudah memadukan system pendidikan modern berbeda. Masuk dan keluarnya siswa
(santri) berbarengan dengan masa usia sekolah. Dengan demikian tujuan santri ke
pesantren juga berubah, beragam, dan time-bound (ada batas waktu). Dengan
demikian, sebagian santri menekankan pada pelajaran sekolah, sebagian pelajaran
kepesantrenan dan sebagian lain campuran keduanya.
Masih banyak yang
berkeyakinan bahwa pesantren merupakan wadah dan kawah candradimuka pendidikan
karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun
moralitas dan karakter bangsa. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, pada
pembukaan Konferensi Wilayah XVI Nahdlatul Ulama Jawa Barat menegaskan bahwa
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama
(NU) memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa sejak dini melalui
lembaga pendidikan pesantren. Lebih dari 50 persen penduduk Muslim di
Indonesia merupakan Nahdiyin yang mengembangkan pesantren sebagai lembaga
pendidikan pembentuk moral. Ini potensi yang sangat penting untuk membentuk
karakter bangsa ke depan.
Paling tidak ada dua
alasan mendasar. (1) Tujuan dan titik tekan di pesantren adalah pembangunan
akhlak, meskipun dengan memadukan berbagai keilmuan di dalamnya. (2) Penerapan
pola pembinaan santri selama 24 jam dengan cara tinggal di asrama, yang
memungkinkan kyai dan pendidik dapat mengontrol perilaku santri dan mengarahkan
sesuai dengan akhlak Islam. Kesuksesan mendidik karakter dalam pesantren
didasarkan pada empat komponen. Pertama, tahapan moral knowing
disampaikan dalam dimensi masjid, pemondokan, dan dimensi komunitas lainnya
oleh kiai/ustad. Kedua, moral feeling dikembangkan melalui
pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Ketiga,
moral action meliputi penerapan konsep moral dalam tindakan nyata, melalui
serangkaian program pembiasaan dalam melakukan perbuatan yang bernilai baik
menurut parameter agama di lingkungan pesantren. Keempat, role model (uswatun
hasanah) yang dilakukan oleh seluruh tenaga pendidiknya. Dengan proses
seperti itu, para santri akan dengan mudah membentuk karakter positif yang
selalu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik masih dalam lingkungan
pesantren maupun setelah kembali di tengah-tengah masyarakat.[17]
2.
Tujuan
pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia
Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan
adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam
sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good
character).[18]
Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti
Socrates, Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali
gaung yang disuarakan nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter
adaah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.
Begitu juga dengan Marthin Luther King
menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut dengan menyatakan “Intelligence
plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus
karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan
karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar
ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik.
2. Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat
yang multikultur.
3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif
dalam pergaulan dunia.
Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan
sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar manusia menjadi
baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai
sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan
sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan
pendidikan adalah “membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri
sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan
dinamika perkembangan masyarakat.”
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia itu adalah: pertama,
supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi
manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara
dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik,
seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya.
Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut
dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan
disegani orang.
Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada,
meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.
Meskipun dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan
karakter itu sendiri dapat dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara
benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan
setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan
media massa.
IV.
Kesimpulan
Istilah karakter secara harfiah berasal dari
bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang
menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan
kamil.
Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang
sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu
antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb.
Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim terkait dengan
pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); Tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada
asah, asih dan asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); Tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); Tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient)
Tujuan dari pendidikan karakter dalam
perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang
terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah
SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.
Daftar Pustaka
Albertus,
Doni Koesoema. 2010. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.
Aunillah,
Nurla Isna. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.
Yogyakarta: Laksana.
Greetz,
Clifford. 1983. Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya.
Madjid,
Nurcholish. 1999. Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Dhofier,
Zamkhsyari. 2002. Tradisi pesantren. Jakarta: Mizan.
Wahjoetomo.
2000. Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin,
M. 1991. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamid,
Abu. 1983. Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan. Jakarta:
Rajawali press.
Tobroni,
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan.
Nata, Abuddin. 2007. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Bafadal, Ibrahim. 2012. Dalam
http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/
Mu’in,
Fatchul. 2011. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Fadlullah.
2008. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media.
[1] Doni Koesaema Albertus, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grasindo, 2010) h. 79-80
[2] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di
Sekolah, (Yogyakarta: Laksana, 2011)h. 19
[3] Ibid., h. 18-19
[4] Clifford Geertz, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1983), h. 268
[5] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina,
1999), hlm. 19
[6] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: Mizan, 2002),
hlm. 18
[7] Wahjoetomo, Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), hlm. 70
[8] M. Arifin. Kapita Selekta Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 240
[9] Abu Hamid, Sistem Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 240
[10]Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 219
[11] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[12]Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[13]Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek.
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[14] Fadlullah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. (Jakarta:
Diadit Media, 2008), hlm. 13
[15]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[16]Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
[18]Abdul majid, Dian Andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif
Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)