I.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Sebenarnya masalah ini termasuk salah satu
masalah yang sulit dalam ilmu Musthalah Hadits, sekalipun bukan yang
paling sulit dan itu termasuk masalah Ijtihadiyah. Akan tetapi di sana
ada perkara-perkara yang jelas, seandainya ada sebagai contoh sebuah hadits
diriwayatkan oleh beberapa orang perawi dengan sebuah lafazh, lalu ada perawi
lain meriwayatkan hadits tersebut dengan lafazh yang menyelisihi lafazh
pertama, sedangkan syaikh (guru) mereka satu, maka itu pertanda bahwa
perawi yang kedua telah melakukan kesalahan. Dan perbedaan yang ada tampak
jelas sekali dan ini memungkinkan kita
untuk menghukumi riwayat yang kedua sebagai riwayat yang syadz.
Adapun ziyadah yang mereka (para ulama
Ahli Hadits) berbeda pendapat di dalamnya, yaitu yang mereka katakan di
dalamnya ada kontradiksi, hal itu seperti perbedaan antara washl
(bersambung) atau irsal (terputus) dalam sanad hadits, atau antara mauquf
(ucapan Shahabat) atau marfu' (disandarkan kepada Nabi) atau
perbedaan-perbedaan lain.
Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai Ziyadaat Als-Tsiqaat.
b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ziyadaat Als-Tsiqaat?
2. Dimana letak terjadinya ziyadah dan hukumnya?
3. Apa saja contoh Al-Ziyadah?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ziyadaat Als-Tsiqaat
Ziyadaat merupakan bentuk jamak dari kata “ziyadah”, sedangkan
tsiqaat merupakan jamak dari kata “tsiqah”. Tsiqah itu adalah orang yang
adil lagi dhabith. Sedangkan yang dimaksud dengan ziyadah ats-tsiqah
adalah hadits yang terdapat padanya tambahan lafadz dari sebagian perawi yang
tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain.
Para ulama hadits telah memperhatikan hal ini, diantara mereka yang
terkenal:
a. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An-Naisabury.
b. Abu Nu’aim Al-Jurjani.
c. Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi.[1]
B. Letak Terjadinya Ziyadah dan Hukumnya
Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau
kalimat, atau terdapat pada sanad dengan mengangkat hadits mauquf atau
menyambung hadits mursal.
v Tempat terjadinya tambahan itu:
1. Pada matan: berupa tambahan kata atau kalimat.
2. Pada sanad: berupa memarfu’kan yang mauquf atau menyambung yang mursal.
v Hukum tambahan pada matan:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
tambahan pada matan:
a. Menerima secara mutlak.
b. Menolak secara mutlak.
c. Menolak tambahan dari rawi hadits yang meriwayatkannya dari rawi yang
pertama tanpa disertai tambahan; namun menerimanya jika dari yang selainnya.
v Pembagian Ziyadah Tsiqah
Ibnu Shalah telah membagi ziyadah ats-tsiqah dan diikuti
boleh Imam An-Nawawi bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi
tiga bagian:
1) Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah.
Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima).
2) Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak
mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya
maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di-tarjih antara
riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima,
sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak.
3) Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para
perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang mutlaq, atau
menkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah
dan diterima.
C. Contoh Al-Ziyadah Lafadh pada Matan
1. Contoh tambahan yang tidak terdapat pertentangan: Diriwayatkan Muslim dari
jalan Ali bin Mushir, dari Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tambahan lafadh: “falyuriqhu” artinya:
“maka hendaklah ia buang isinya”; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua
ahli hadits dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut.
Yang mereka riwayatkan adalah:
اذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليغسله سبع مرار
“Apabila anjing
menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu
tujuh kali”.
Maka tambahan kalimat: “hendaklah ia buang
isinya” adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah
seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan
antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
2. Contoh tambahan yang terdapat perselisihan, seperti tambahan “Hari Arafah”
yang terdapat pada hadits yang berbunyi:
يوم عرفة ويوم الحر وأيا م التشريق عيدنا أهل
الاسلام, وايما أكل و شرب
“Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq,
hari raya kita orang Islam, adalah hari raya makan dan minum”.
Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah
tanpa kalimat “Hari Arafah”. Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa
bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir dan tambahan ini telah
di-tarjihkan oleh imam Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lain.
3. Tambahan yang di dalamnya terdapat jenis yang saling meniadakan dari para
perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Contohnya adalah: hadits yang
diriwayatkan oleh Muslimm melalui jalur Abi Malik al-Asyja’i dari Rib’i dari
Hudzaifah, yang berkata: “Rasulullah saw. bersabda:
ـ ـ ـ وجعلت لنا الآ رض كلها مسجدأ وجعلت تر بتها
لنا طهورأ
“…dan telah dijadikan
bagi kita, bumi itu sebagai masjid, dan telah dijadikan bagi kita, debu itu
suci.”
Riwayat Abu malik yang disertai tambahan kata “turbatuha”
menyendiri, dan hal itu tidak pernah disebut-sebut oleh perawi lain. Mereka
meriwayatkan hadits dengan redaksi: “Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu
sebagai masjid dan suci.”[2]
1) Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh
Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i, dari Rib’i, dari Hudzaifah, berkata:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah dijadikan semua bumi
untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat
bersuci”.
2) Di sini terdapat Abu Malik Sa’ad bin Thariq Al-Asja’i dengan tambahan
lafadh: “debunya”, sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang
mereka riwayatkan adalah: “Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan
tempat bersuci”.
3) Madzhab Asy-Syafi’i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini
pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mereka menjadikan
tambahan ini sebagai tambahan.
4) Yang bertentangan dan menerapkan aturan tarjih antara lafadh tambahan dan
hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan
tambahan seperti ini.[3]
v Hukum Tambahan dalam Sanad
Mengenai tambahan pada sanad, dalam hal ini harus ditempatkan dalam dua hal
penting, yang banyak sekali terjadi. Keduanya saling bertentangan, baik antara
yang bersambung dengan yang mursal, ataupun antara yang marfu’ dengan
yang mauquf. Sedangkan bentuk tambahan yang lainnya pada sanad, para
ulama telah mengkhususkan pengkajiannya, seperti dalam topik al-mazid fi
al-muttashil al-asanid.
Para ulama berbeda pendapat mengenai diterima atau ditolaknya hukum
tambahan pada sanad menjadi empat kategori:
a. Hukum bagi riwayat yang bersambung (muttashil)
atau marfu’, maka tambahannya dapat diterima. Ini merupakan pendapat
jumhur fuqaha dan ulama ushul.
b. Hukum bagi riwayat yang mursal dan mauquf,
maka tambahannya ditolak. Ini merupakan pendapat banyak ahli hadits.
c. Hukumnya berdasarkan pada jumlah
(banyaknya). Ini merupakan pendapat sebagian ahli hadits.
d. Hukumnya berdasarkan hafalan. Ini merupakan
pendapat sebagian ahli hadits.
Contohnya:
Hadits: ”Tidak sah pernikahan seseorang
kecuali dengan adanya wali”. Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq
As-Sab’i dan anaknya Isra’il dan Qais bin Ar-Rabi’, dari Abi Ishaq dengan sanad
bersambung. Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah bin
Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal.[4]
III.
KESIMPULAN
Ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan lafadz dari
sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi
lain. Letak Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu
kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad dengan mengangkat hadits mauquf
atau menyambung hadits mursal.
Demikianlah makalah yang mampu kami paparkan,
tentulah banyak sekali kekurangan atas makalah yang kami buat. Dengan bantuan
partisipasi pemikiran dari kawan-kawan semoga dapat sempurna kekurangan
tersebut. Kritik dan saran selalu terbuka bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA
Thahan, Mahmud, Kitab Taisir Musthalahul
Hadist, Al Harumain, 1985.
file:///D:/Semester%204/tugas/Ziyadaat%20Ats-Tsiqat%20_%20alqur'anmulia.htm accessed on 04 Januari, 2014.
file:///D:/Semester%204/tugas/ZIYADAH%20ATS
TSIQAH%20_%20Para%20Ulama%20Ahlul%20Hadits.htm published in: Al-Jarh
Wat-Ta’dil on Oktober 16, 2007 AT 3:35 AM
[1]
file:///D:/Semester%204/tugas/Ziyadaat%20Ats-Tsiqat%20_%20alqur'anmulia.htm accessed on 04 Januari, 2014.
[3]
file:///D:/Semester%204/tugas/ZIYADAH%20ATS
TSIQAH%20_%20Para%20Ulama%20Ahlul%20Hadits.htm published in: Al-Jarh Wat-Ta’dil
on Oktober 16, 2007 AT 3:35 AM
[4] Mahmud Thahan , Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain,
1985), hlm. 140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)