Selasa, 24 Maret 2015

Ziyadah Al-Tsiqah fi Al-Hadis



I.                    PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
Sebenarnya masalah ini termasuk salah satu masalah yang sulit dalam ilmu Musthalah Hadits, sekalipun bukan yang paling sulit dan itu termasuk masalah Ijtihadiyah. Akan tetapi di sana ada perkara-perkara yang jelas, seandainya ada sebagai contoh sebuah hadits diriwayatkan oleh beberapa orang perawi dengan sebuah lafazh, lalu ada perawi lain meriwayatkan hadits tersebut dengan lafazh yang menyelisihi lafazh pertama, sedangkan syaikh (guru) mereka satu, maka itu pertanda bahwa perawi yang kedua telah melakukan kesalahan. Dan perbedaan yang ada tampak jelas sekali  dan ini memungkinkan kita untuk menghukumi riwayat yang kedua sebagai riwayat yang syadz.
Adapun ziyadah yang mereka (para ulama Ahli Hadits) berbeda pendapat di dalamnya, yaitu yang mereka katakan di dalamnya ada kontradiksi, hal itu seperti perbedaan antara washl (bersambung) atau irsal (terputus) dalam sanad hadits, atau antara mauquf (ucapan Shahabat) atau marfu' (disandarkan kepada Nabi) atau perbedaan-perbedaan lain.
 Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Ziyadaat Als-Tsiqaat.
b.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ziyadaat Als-Tsiqaat?
2.      Dimana letak terjadinya ziyadah dan hukumnya?
3.      Apa saja contoh Al-Ziyadah?

II.                 PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ziyadaat Als-Tsiqaat
Ziyadaat merupakan bentuk jamak dari kata “ziyadah”, sedangkan tsiqaat merupakan jamak dari kata “tsiqah”. Tsiqah itu adalah orang yang adil lagi dhabith. Sedangkan yang dimaksud dengan ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan lafadz dari sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain.
Para ulama hadits telah memperhatikan hal ini, diantara mereka yang terkenal:
a.       Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An-Naisabury.
b.      Abu Nu’aim Al-Jurjani.
c.       Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi.[1]
B.     Letak Terjadinya Ziyadah dan Hukumnya
Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal.
v  Tempat terjadinya tambahan itu:
1.      Pada matan: berupa tambahan kata atau kalimat.
2.      Pada sanad: berupa memarfu’kan yang mauquf atau menyambung yang mursal.
v  Hukum tambahan pada matan:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tambahan pada matan:
a.       Menerima secara mutlak.
b.      Menolak secara mutlak.
c.       Menolak tambahan dari rawi hadits yang meriwayatkannya dari rawi yang pertama tanpa disertai tambahan; namun menerimanya jika dari yang selainnya.
v  Pembagian Ziyadah Tsiqah
Ibnu Shalah telah membagi ziyadah ats-tsiqah dan diikuti boleh Imam An-Nawawi bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi tiga bagian:
1)      Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah. Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima).
2)      Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di-tarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak.
3)      Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang mutlaq, atau menkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah dan diterima.
C.     Contoh Al-Ziyadah Lafadh pada Matan
1.      Contoh tambahan yang tidak terdapat pertentangan: Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushir, dari Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tambahan lafadh: “falyuriqhu” artinya: “maka hendaklah ia buang isinya”; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua ahli hadits dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah:
اذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليغسله سبع مرار
 “Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali”.
Maka tambahan kalimat: “hendaklah ia buang isinya” adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
2.      Contoh tambahan yang terdapat perselisihan, seperti tambahan “Hari Arafah” yang terdapat pada hadits yang berbunyi:
يوم عرفة ويوم الحر وأيا م التشريق عيدنا أهل الاسلام, وايما أكل و شرب
 “Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, adalah hari raya makan dan minum”.
Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat “Hari Arafah”. Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir dan tambahan ini telah di-tarjihkan oleh imam Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lain.
3.      Tambahan yang di dalamnya terdapat jenis yang saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Contohnya adalah: hadits yang diriwayatkan oleh Muslimm melalui jalur Abi Malik al-Asyja’i dari Rib’i dari Hudzaifah, yang berkata: “Rasulullah saw. bersabda:
ـ ـ ـ وجعلت لنا الآ رض كلها مسجدأ وجعلت تر بتها لنا طهورأ
“…dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid, dan telah dijadikan bagi kita, debu itu suci.”
Riwayat Abu malik yang disertai tambahan kata “turbatuha” menyendiri, dan hal itu tidak pernah disebut-sebut oleh perawi lain. Mereka meriwayatkan hadits dengan redaksi: “Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan suci.”[2]
1)      Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i, dari Rib’i, dari Hudzaifah, berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah dijadikan semua bumi untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat bersuci”.
2)      Di sini terdapat Abu Malik Sa’ad bin Thariq Al-Asja’i dengan tambahan lafadh: “debunya”, sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang mereka riwayatkan adalah: “Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan tempat bersuci”.
3)      Madzhab Asy-Syafi’i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mereka menjadikan tambahan ini sebagai tambahan.
4)      Yang bertentangan dan menerapkan aturan tarjih antara lafadh tambahan dan hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan tambahan seperti ini.[3]
v  Hukum Tambahan dalam Sanad
Mengenai tambahan pada sanad, dalam hal ini harus ditempatkan dalam dua hal penting, yang banyak sekali terjadi. Keduanya saling bertentangan, baik antara yang bersambung dengan yang mursal, ataupun antara yang marfu’ dengan yang mauquf. Sedangkan bentuk tambahan yang lainnya pada sanad, para ulama telah mengkhususkan pengkajiannya, seperti dalam topik al-mazid fi al-muttashil al-asanid.
Para ulama berbeda pendapat mengenai diterima atau ditolaknya hukum tambahan pada sanad menjadi empat kategori:
a. Hukum bagi riwayat yang bersambung (muttashil) atau marfu’, maka tambahannya dapat diterima. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha dan ulama ushul.
b. Hukum bagi riwayat yang mursal dan mauquf, maka tambahannya ditolak. Ini merupakan pendapat banyak ahli hadits.
c. Hukumnya berdasarkan pada jumlah (banyaknya). Ini merupakan pendapat sebagian ahli hadits.
d. Hukumnya berdasarkan hafalan. Ini merupakan pendapat sebagian ahli hadits.
Contohnya:
Hadits: ”Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali”. Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq As-Sab’i dan anaknya Isra’il dan Qais bin Ar-Rabi’, dari Abi Ishaq dengan sanad bersambung. Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal.[4]

III.               KESIMPULAN
Ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan lafadz dari sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain. Letak Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal.
Demikianlah makalah yang mampu kami paparkan, tentulah banyak sekali kekurangan atas makalah yang kami buat. Dengan bantuan partisipasi pemikiran dari kawan-kawan semoga dapat sempurna kekurangan tersebut. Kritik dan saran selalu terbuka bagi kami.






DAFTAR PUSTAKA
Thahan, Mahmud, Kitab Taisir Musthalahul Hadist, Al Harumain, 1985.
file:///D:/Semester%204/tugas/ZIYADAH%20ATS TSIQAH%20_%20Para%20Ulama%20Ahlul%20Hadits.htm published in: Al-Jarh Wat-Ta’dil on Oktober 16, 2007 AT 3:35 AM





[2] Mahmud Thahan , Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain, 1985), hlm. 137-139.
[3] file:///D:/Semester%204/tugas/ZIYADAH%20ATS TSIQAH%20_%20Para%20Ulama%20Ahlul%20Hadits.htm published in: Al-Jarh Wat-Ta’dil on Oktober 16, 2007 AT 3:35 AM

[4] Mahmud Thahan , Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain, 1985), hlm. 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)