A.
Latar belakang
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat manusia.
Kebahagiaan mereka bergantung pda kemampuan memahami maknanya, pengetahuan
rahasia–rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya. Perbedan
daya pikir di antara manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipertentangkan. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan
bersifat global. Sementara para cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami
dan menyingkap makna-maknanya secara menarik.
Dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang
pengkaji merupakan suatu nilai khusus bagi kematangan kajiannya. Kajian
ilmu-ilmu syari’at pada umumnya, ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang
harus memperhatikan sejumlah syarat dan etika, demi menjernihkan sumber dan
memelihara keindahan wahyu dan keagungannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Siapakah mufassir itu, dan bagaimana syarat-syarat serta adab
mufassir?
2.
Apa saja perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir?
II.
PEMBAHASAN
A.
Mufassir dan syarat-syarat serta adabnya
Orang yang menafsirkan (Al-Qur’an) disebut mufassir,
jamaknya mufassirun atau mufassirin. Untuk dapat menjadi
mufassir, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat
fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan terutama
syarat-syarat yang bersifat akademik.
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku
pada dunia keilmuan lainnya ialah bahwa:
a.
Mufassir itu harus dewasa (baligh).
b.
Berakal sehat, orang kecil dan orang gila tidak bisa diterima
penafsirannya.
Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika
penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yaitu:
a.
Harus sehat itikadnya (shihhat al-i’tiqad), tawadhu’
dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang
dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
b.
Bagus niatnya (husn al-niyyah), berniat baik dan bertujuan
benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.
c.
Lurus tujuan dan maksudnya (ahihhat al-maqshud), berani
dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan
kalimat yang haq dihadapan penguasa dzalim.
d.
Baik akhlaknya (husn al-khuluq), berakhlak mulia, karena
mufassir itu bagaikan seorang pendidik.
e.
Dan patut diteladani amal perbuatannya (al-imtitsal wa al-‘amal),
taat dan amal, ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya
daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep.[1]
f.
Jujur dan teliti dalam penukilan.
g.
Berjiwa mulia. Sudah seharusnya seorang alim itu menjauhkan diri
dari hal-hal yang remeh serta tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan
kekuasaan bagai peminta-minta yang buta.
h.
Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan
terhormat dalam semua penampilannya.
i.
Bersikap tenang dan mantap.
j.
Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
k.
Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran
secara runtut.[2]
Syarat lain yang tidak kurang penting ialah beragama Islam
(Muslim). Orang kafir tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an, karena dia tidak
mempunyai kepentingan apapun dengan Al-Qur’an.
Dan menurut para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus
dimiliki setiap mufassir yaitu:
1.
Akidah yang benar.
Akidah
memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali
mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam menyampaikan berita.
2.
Bersih dari hawa nafsu.
3.
Menafsirkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu
yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu
yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai
penjelas Al-Qur’an.
5.
Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat
bagaimana pendapat para sahabat.
6.
Apabila tidak ditemukan juga penafsirannya, maka sebagian besar
ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat tabi’in.
7.
Memahami bahasa Arab dengan baik, karena Al-Qur’an diturunkan dlam
bahasa Arab.
8.
Mengetahui tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan
Al-Qur’an.[3]
B.
Perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an, setiap mufassir dituntut supaya
membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya telah
dikemukakan para ahli tafsir dengan segala macam perbedaannya.
Komponen ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan Al-Qur’an
secara global telah dikemas dalam formulasi sebagai berikut:
1.
Ilmu bahasa, dalam kaitan ini bahasa Arab yang pada intinya
meliputi ilmu al-nahwu, ilmu al-tashrif, ilmu balaghah, termasuk di dalamnya
ilmu semantik (ilmu al-dilalah) dan lain-lain. Al-Syatibi, menyimpulkan
bahwasanya Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab dalam keseluruhannya.
Untuk itu, maka pemahaman (penafsirannya) harus memerhatikan sisi kebahasaan
ini yang spesifik karena Allah SWT. Berfirman dalam beberapa ayatnya, antara
lain:
!$¯RÎ)çm»oYø9tRr&$ºRºuäöè%$wÎ/ttãöNä3¯=yè©9cqè=É)÷ès?ÇËÈ
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al
Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf ayat 2).
2.
Kelompok ilmu ushul al-ddin, tauhid, kalam, teologi, yang
pada intinya meliputu tentang kemahaEsaan Allah, berbagai aliran kalam dan
lain-lain yang tergolong ke dalam rumpun ilmu ushul al-din.
3.
Kelompok ilmu-ilmu syari’ah terutama fiqih dan ushul fiqih di
samping ilmu-ilmu syari’ah lainnya termasuk qawaid al- fiqhiyyah, qawaid
al-ahkam dan lain-lain yang merupakan bagian integral dari kajian fiqih dan
ushul fiqih.
4.
Kelompok ilmu-ilmu Al-Qur’an terutama ilmu tafsir, imu qira’at,
ilmu munasabah, ilmu al-qashash, ilmu asbab al nuzul dan lain-lain yang terkait
langsung dengan ilmu Al-Qur’an.
5.
Kelompok ilmu-ilmu sosial lainnya semisal sosiologi, antropologi,
ilmu hukum, sejarah, politik, dan lain sebagainya.
6.
Kelompok ilmu pengetahuan alam yang meliputi matematika, biologi,
kimia dan fisika.
7.
Ilmu al-mawhibah berupa pemberian khusus dari Allah kepada
para hambaNya. Dalam kaitan ini, mufassir yang selalu memelihara ucapan, sikap
dan perilaku yang mencerminkan wujud ketaatan dan kesalehannya.
8.
Kelompok ilmu-ilmu lain yang langsung maupun tidak langsung
memiliki manfaat bagi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. [4]
III.
PENUTUP
a.
Mufassir, orang yang menafsirkan Al-Qur’an memiliki peranan penting
bahkan turut menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur’an. Untuk itu, mufassir
perlu memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Diantaranya yaitu persyaratan
yang bersifat fisik dan psikis (etika penafsiran yang lazim dikenal dengan
adab al mufassir), maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan
syarat-syarat yang bersifat akademik. Dan kemudian apa saja perangkat ilmu yang
dibutuhkan para mufassir.
b.
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, tentang Adab
al-Mufassir. Semoga bermanfaat, dan tentunya makalah ini tidak terlepas
dari kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis memohon
kritik dan saran untuk membangun perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qatthan, Manna, Pengantar Studi Ilmu
Al-qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Amin Suma, Muhammad, Ulumul Qur’an,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.
[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hal. 402-403.
[2] Manna Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 418.
[3] Manna Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 414-416
[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hal. 404-414.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)