Senin, 23 Maret 2015

ADAB AL-MUFASSIR



I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat manusia. Kebahagiaan mereka bergantung pda kemampuan memahami maknanya, pengetahuan rahasia–rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya. Perbedan daya pikir di antara manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipertentangkan. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sementara para cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik.
Dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan suatu nilai khusus bagi kematangan kajiannya. Kajian ilmu-ilmu syari’at pada umumnya, ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan sejumlah syarat dan etika, demi menjernihkan sumber dan memelihara keindahan wahyu dan keagungannya.

B.     Rumusan masalah
1.      Siapakah mufassir itu, dan bagaimana syarat-syarat serta adab mufassir?
2.      Apa saja perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir?

II.                PEMBAHASAN
A.    Mufassir dan syarat-syarat serta adabnya
Orang yang menafsirkan (Al-Qur’an) disebut mufassir, jamaknya mufassirun atau mufassirin. Untuk dapat menjadi mufassir, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan terutama syarat-syarat yang bersifat akademik.
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada dunia keilmuan lainnya ialah bahwa:
a.       Mufassir itu harus dewasa (baligh).
b.      Berakal sehat, orang kecil dan orang gila tidak bisa diterima penafsirannya.
Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yaitu:
a.       Harus sehat itikadnya (shihhat al-i’tiqad), tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
b.      Bagus niatnya (husn al-niyyah), berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.
c.       Lurus tujuan dan maksudnya (ahihhat al-maqshud), berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq dihadapan penguasa dzalim.
d.      Baik akhlaknya (husn al-khuluq), berakhlak mulia, karena mufassir itu bagaikan seorang pendidik.
e.       Dan patut diteladani amal perbuatannya (al-imtitsal wa al-‘amal), taat dan amal, ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep.[1]
f.       Jujur dan teliti dalam penukilan.
g.      Berjiwa mulia. Sudah seharusnya seorang alim itu menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagai peminta-minta yang buta.
h.      Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya.
i.        Bersikap tenang dan mantap.
j.        Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
k.      Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran secara runtut.[2]
Syarat lain yang tidak kurang penting ialah beragama Islam (Muslim). Orang kafir tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an, karena dia tidak mempunyai kepentingan apapun dengan Al-Qur’an. 
Dan menurut para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir yaitu:
1.      Akidah yang benar.
Akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam menyampaikan berita.
2.      Bersih dari hawa nafsu.
3.      Menafsirkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
5.      Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat.
6.      Apabila tidak ditemukan juga penafsirannya, maka sebagian besar ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat tabi’in.
7.      Memahami bahasa Arab dengan baik, karena Al-Qur’an diturunkan dlam bahasa Arab.
8.      Mengetahui tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.[3]

B.     Perangkat ilmu yang dibutuhkan mufassir
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an, setiap mufassir dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya telah dikemukakan para ahli tafsir dengan segala macam perbedaannya.
Komponen ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara global telah dikemas dalam formulasi sebagai berikut:
1.      Ilmu bahasa, dalam kaitan ini bahasa Arab yang pada intinya meliputi ilmu al-nahwu, ilmu al-tashrif, ilmu balaghah, termasuk di dalamnya ilmu semantik (ilmu al-dilalah) dan lain-lain. Al-Syatibi, menyimpulkan bahwasanya Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab dalam keseluruhannya. Untuk itu, maka pemahaman (penafsirannya) harus memerhatikan sisi kebahasaan ini yang spesifik karena Allah SWT. Berfirman dalam beberapa ayatnya, antara lain:
!$¯RÎ)çm»oYø9tRr&$ºRºuäöè%$wŠÎ/ttãöNä3¯=yè©9šcqè=É)÷ès?ÇËÈ
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf ayat 2).
2.      Kelompok ilmu ushul al-ddin, tauhid, kalam, teologi, yang pada intinya meliputu tentang kemahaEsaan Allah, berbagai aliran kalam dan lain-lain yang tergolong ke dalam rumpun ilmu ushul al-din.
3.      Kelompok ilmu-ilmu syari’ah terutama fiqih dan ushul fiqih di samping ilmu-ilmu syari’ah lainnya termasuk qawaid al- fiqhiyyah, qawaid al-ahkam dan lain-lain yang merupakan bagian integral dari kajian fiqih dan ushul fiqih.
4.      Kelompok ilmu-ilmu Al-Qur’an terutama ilmu tafsir, imu qira’at, ilmu munasabah, ilmu al-qashash, ilmu asbab al nuzul dan lain-lain yang terkait langsung dengan ilmu Al-Qur’an.
5.      Kelompok ilmu-ilmu sosial lainnya semisal sosiologi, antropologi, ilmu hukum, sejarah, politik, dan lain sebagainya.
6.      Kelompok ilmu pengetahuan alam yang meliputi matematika, biologi, kimia dan fisika.
7.      Ilmu al-mawhibah berupa pemberian khusus dari Allah kepada para hambaNya. Dalam kaitan ini, mufassir yang selalu memelihara ucapan, sikap dan perilaku yang mencerminkan wujud ketaatan dan kesalehannya.
8.      Kelompok ilmu-ilmu lain yang langsung maupun tidak langsung memiliki manfaat bagi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. [4]

III.             PENUTUP
a.       Mufassir, orang yang menafsirkan Al-Qur’an memiliki peranan penting bahkan turut menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur’an. Untuk itu, mufassir perlu memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Diantaranya yaitu persyaratan yang bersifat fisik dan psikis (etika penafsiran yang lazim dikenal dengan adab al mufassir), maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan syarat-syarat yang bersifat akademik. Dan kemudian apa saja perangkat ilmu yang dibutuhkan para mufassir.

b.      Demikian makalah yang dapat kami paparkan, tentang Adab al-Mufassir. Semoga bermanfaat, dan tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran untuk membangun perbaikan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qatthan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Amin Suma, Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.







[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 402-403.
[2] Manna Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 418.
[3] Manna Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 414-416
[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 404-414.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik meninggalkan jejak yang baik,
Jangan lupa di comment ya :)