I.
PENDAHULUAN
Hadis, dalam perjalanan sejarahnya terlambat
dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian
dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarat Islam dan umumnya
dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Hal ini memungkinkan adanya
unsur-unsur budaya generasi periwayat masuk dalam periwayatan mereka. Karena
itu untuk mengungkap sejarah hadis, harus dikaitkan dengan generasi awal
periwayat hadis itu sendiri, yakni para sahabat Nabi. Para ahli hadis
kontemporer dalam menilai peranan sahabat dalam periwayatan hadis sangat
beragam. Pengkajian atas hadis Nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli,
tidak terbatas pada kandungan dan aplikasi hadis, serta yang ada hubungan
dengannya saja, tetapi juga kajian tersebut terhadap periwayatan dan materi
hadis itu sendiri. Masih menurut para ahli, penelitian terhadap sanad maupun
materi hadis dianggap sangat penting, karena boleh jadi sebagian dari apa yang
dinyatakan sebagai hadis Nabi, setelah diteliti dengan seksama ternyata sangat
lemah untuk diterima sebagai hadis dari Nabi.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
profil dan pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana profil Muhammad Al-Ghazali dan apa saja karya-karyanya?
B. Bagaimana pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis?
C. Contoh pemahaman Hadis Muhammad al Ghazali
III.
PEMBAHASAN
A. Profil Muhammad Al-Ghazali dan Karya-Karyanya
a. Profil Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali lahir pada 1917 M di
Al-Bahirah, Mesir. Daerah ini dikenal banyak dilahirkan tokoh-tokoh Islam
terkemuka pada zamannya, seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Hasan
Al-Banna dan Muhammad Al-Madani.
Muhammad Al-Ghazali sudah menghafal Al-qur’an
30 juz pada usia 10 tahun. Pendidikan dasar dan menengahnya, ia tempuh di
Sekolah Agama. Pada tahun 1937, ia melanjutkan pendidikannya pada Jurusan
Dakwah, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir dan lulus pada tahun
1941 M. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab di universitas yang sama
dan selesai pada tahun 1943. Semasa kuliah, ia direkrut oleh Imam Hasan
Al-Banna hingga menjadi salah seorang anggota bahkan salah seorang tokoh Ikhwanul
Muslimin. Ia aktif melakukan jihad di medan dakwah Islamiyah melalui
berbagai forum seminar, pendidikan, pembinaan, khutbah, ceramah dan tulisan.
Muhammad Al-Gazali lebih dikenal sebagai da’i
terutama di Timur Tengah. Materi ceramahnya yang selalu segar, gaya bahasanya
semangat dan keterbukaannya merupakan daya tarik dakwahnya.
Selain sebagai da’i, ia juga seorang akademisi
yang disegani, baik di almamaternya maupun di berbagai perguruan tinggi
lainnya, seperti Universitas Ummul Qura di Makkah, Universitas Qatar di Qatar,
Universitas Amir Abdul Qadir al-Islamiyah di Aljazair.[1]
Al-Ghazali juga seorang ulama Islam yang
sangat peduli terhadap persoalan-persoalan umat Islam kontemporer, terutama
yang berhubungan dengan dakwah dan pemikiran. Sampai wafatnya, selain menulis
di berbagai majalah dan surat kabar berbahasa Arab, beliau juga menulis 48
judul buku yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Karena jasanya dalam berdakwah, baik lewat
pidato (bi al-lisan) maupun tulisan (bi al-qalam), Al-Ghazali
telah mendapatkan berbagai penghargaan dari beberapa negara Islam. Salah
satunya yaitu dari Pemerintah AlJazair yang pernah menganugerahinya ”Bintang
Jasa,” sebuah penghargaan tertinggi pemerintahan Aljazair untuk bidang dakwah
Islam.
Banyak hadiah dan anugerah yang diterima
Al-Ghazali bukan hanya yang berbentuk tanda jasa. Sampai kini ia juga dihormati
dan disanjung oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Karena sifatnya yang
terbuka, mudah dicerna dan mengesankan, karya-karyanya banyak memberikan
inspirasi untuk anak muda Islam.[2]
Muhammad Al-Ghazali wafat dalam usia 80 tahun
pada hari Sabtu, tanggal 9 Syawal 1416 H. Bertepatan dengan tanggal 6 Maret
1996, ketika ia berada di Saudi Arabia untuk menghadiri seminar tentang Islam
dan Barat. Wafatnya begitu tiba-tiba, diduga karena serangan jantung.[3]
Menurut Yusuf Qardawi, sudah sejak lama
Al-Ghazali ingin mendapatkan tempat yang dekat dengan Nabi Besar Muhammad SAW.
Dan kematiannya di Saudi Arabia itu telah mengantarkannya ke pekuburan Baqi,
hanya beberapa meter dari makam Rasulullah. Dan menurut Dr. Muhammad Umar
Zubair, sahabat Yusuf Qardawi yang sempat menghadiri upacara pemakaman
Al-Ghazali di Madinah, letak kuburan Al-Ghazali persis di antara kuburan Imam
Malik (pendiri Madzhab Maliki) dan Imam Nafi’ (ahli hadis).[4]
b. Karya-karyanya
Buku Muhammad Al-Ghazali yang paling terkenal
adalah Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Dalam
buku ini, ia menyoroti beberapa hadis yang otentitasnya ia ragukan atau yang
tidak dipahami sebagaimana mestinya.
Buku yang membahas tentang ekonomi adalah Al-Islam
wa al-Ausa al-Iqtisadiyah yang diterbitkan pada tahun 1947 M. Bukunya yang
membahas tentang politik diantaranya adalah Al-Islam wa al-Istibdad
al-Siyasi. Ditulis pada tahun 1948. Fiqh al-Sirah adalah salah satu
karya Muhammad Al-Ghazali yang terkenal. Melalui buku ini Muhammad Al-Ghazali
tampil sebagai pemikir yang ahli zikir, da’i yang menguasai sastra dan bahasa
Arab, sekaligus kritikus hadis yang sangat mencintai Rasulullah Saw.
Perhatian Muhammad Al-Ghazali terhadap
Al-Qur’an juga diaplikasikan melalui buku yang ditulisnya, diantaranya Nazarat
fi al-Qur’an, Kayfa Nata’amul ma’a al-Qur’an, Al-Muhawir al-Khamsah li
al-Qur’an al-Karim dan Nahw Tafsir al-Maudui li Suwar al-Qur’an al-Karim.
Selain buku-buku tersebut, masih beberapa buku
karyanya yang lain. Tulisan Muhammad Al-Ghazali hampir mencakup seluruh
permasalahan umat Islam pada masanya, seperti pemahaman Al-qur’an dan hadis
Nabi Muhammad Saw, pemurnian aqidah dan pembaharuan hukum, perbaikan ekonomi
umat dan reformasi sistem pemerintahan dan lainnya.[5]
B. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Hadis
a. Kriteria Kesahihan Hadis
1. Kriteria kesahihan sanad hadis
Menurut Muhammad Al-Ghazali, kesahihan sanad
hadis hanya terdiri dari dua syarat, yaitu[6]:
a. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai
penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya.
Kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini
perawi disebut dhabit.
b. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap
kepribadiannya, bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap
pemalsuan atau penyimpangan. Pada konteks ini perawi disebut ‘adil.
2. Kriteria keshahihan matan hadis
Muhammad al ghazali menetapkan tujuh kriteria keshahihan
hadis[7]:
a. Matan hadis sesuai alquran
b. Sejalan dengan matan hadis shahih lainnya
c. Sejalan dengan fakta sejarah
d. Redaksi matan hadis
menggunakan bahasa Arab yang baik;
e. Kandungan matan hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agam
islam
f. Hadis itu tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya
bertentangan dalam periwayatnnya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih
akurat dan lebih dapat dipercaya).
g. Hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah (yakni cacat yang
diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
C. Contoh pemahaman Hadis Muhammad al Ghazali
Hadits tentang larangan wanita menjadi pemimpin di riwayatkan oleh
Al Bukhari, At Tirmidzi, An Nasai’ dan Ahmad bin Hambal.[8]
(Hadits Bukhari no.4073)
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ
بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ
مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(BUKHARI - 4073) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin
Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia
berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat
yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala
aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang
bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak
perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan
beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Menurut Ahmad
Al Ghazali, hadis tersebut semestinya dipahami secara kontekstual, yaitu dengan
mengetahui latar belakang keluarnya hadis tersebut; antara lain dengan memahami
kondisi dan budaya masyarakat Persia dan sistem politik yang dianut ketika itu,
sehingga hadis tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diingankan Nabi
Muhammad Saw dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.[9]
Fakta sejarah menunjukan bahwa hadits tersebut
diucapkan nabi terkait dengan peristiwa suksesi di persia yang menganut
pemerintahan monarki yang berada diambang kehancuran. Sistem monarki tidak
mengenal musyawarah, tidak menghormati pendapat yang berlawanan dan tidak
terjalinnya hubungan yang seimbang dan sepadan antara rakyat dan penguasa. Oleh
karena itu Muhammad Al Ghazali berpendapat, hadits ini secara spesifik
ditujukan kepada ratu Kisra di Persia, karena seandainya sistem pemerintahan di
Persia, berdasar musyawarah dan seandainya wanita yang menduduki singgahsana
kepemimpinan mereka seperti Golda Meir yang memimpin Israel, mungkin komentar
Nabi akan berbeda.
Hadits yang demikian juga bertentangan dengan Qur’an surat An Naml
ayat 23
ÎoTÎ)Ny`urZor&tøB$#öNßgà6Î=ôJs?ôMuÏ?ré&ur`ÏBÈe@à2&äóÓx«$olm;urî¸ötãÒOÏàtãÇËÌÈ
23. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita[10]yang
memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar.
Tentang Ratu Bilqis yang memerintah kerajaan Saba’iyah pada masa
Nabi Sulaiman. Menurut Muhammad Al Ghazali, untuk menghadapi problem yang
demikian itu seharusnya umat Islam kembali kepada pilar-pilar yang menyanggah
hubungan pria dan wanita,sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron ayat 195
‘’Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain[11].
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Selain itu
dalam QS. An Nahl ayat 97 “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik[12]dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Demikian juga hadits nabi, tentang kedudukan
wanita yang seimbang dengan laki-laki.
Hadits at Tirmidzi no.105 إِنَّ النِّسَاءَ
شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Pernyataan Muhammad al Ghazali di atas
memberikan isyarat bahwa perempuan yang tidak boleh diserahi tugas sebagai
pemimpin oleh Nabi Muhammad Saw adalah
pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi
kepakaran maupun dilihat dari segi budaya setempat. Jadi, hadis diatas tidak
dapat dijadikan sebagai dasar penolakan perempuan sebagai pemimpin[13].
Menurut Ahmad Al Ghazali, hadis tentang larangan
wanita menjadi pemimpin diriwayatkan oleh Al Bukhari, (Hadits Bukhari no.4073) semestinya
dipahami secara kontekstual, yaitu dengan mengetahui latar belakang keluarnya
hadis tersebut. Sehingga hadis tersebut dapat diterapkan pada situasi yang
diingankan Nabi Muhammad Saw dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.
IV.
KESIMPULAN
Menurut Muhammad Al-Ghazali, kesahihan sanad
hadis hanya terdiri dari dua syarat, yaitu dhabit, ‘adil. Kriteria keshahihan
matan hadis Muhammad al ghazali menetapkan tujuh kriteria keshahihan hadis.
Diantaranya matan hadis sesuai alquran, Sejalan dengan matan hadis
shahih lainnya, sejalan dengan fakta sejarah, Redaksi matan hadis menggunakan bahasa Arab yang baik, kandungan
matan hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agam islam, hadis
itu tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan
dalam periwayatnnya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih
dapat dipercaya), hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah (yakni
cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka
menolaknya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, semoga
bermanfaat, dan tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan,
dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran untuk
membangun perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi
Kritik Hadis, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Khaeruman, Badri, Otentitas Hadis: Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta:
Teras, 2008.
[1] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi
Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 99-100.
[2] Badri Khaeruman, Otentitas Hadis: Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), hlm. 264-265.
[3] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi
Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 100.
[4] Badri Khaeruman, Otentitas Hadis: Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), hlm. 270.
[5] Bustamin, Salam, M. Isa H.A, Metodologi
Kritik Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 100-101.
[6] Ibid.h.102
[7] Ibid.103
[9] Bustamin, Salam,h. 123
[10]
Yaitu ratu
Balqis yang memerintah kerajaan Sabaiyah di zaman Nabi Sulaiman.
[11] Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan
perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan
perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari
yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
[12] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman
[13] Bustamin, Salam, 124